Jumat, 20 Desember 2013



Dengan Momentum, “Mother’sday”,
Introspeksi diri Ibu Untuk Perbaiki Generasi
Saudariku, para ibu di negeri Zambrut Khatulistiwa.
Sebuah negeri bagai sorga dunia, tongkat kayu batu jadi tanaman, penduduk yang ramah tamah dengan beragam budaya nan Elok. Namun ungkapan kata kata itu sekarang sepertinya hanyalah kata kata tanpa fakta. Pada kenyataan di negeri ini dipenuhi oleh beragam jenis kejahatan, kemelaratan, para pemimpin yang koruptor, pertikaian antar etnis dan agama, dekadensi moral, pengemis dimana-mana, busung lapar, anak putus sekolah, sungguh sempurna bertolak belakang dengan budaya yang ada dan atau yang pernah ada.
Kata orang bijak ; Keutuhan dan atau kejayaan sebuah Negara dan bangsa tergantung pada perempuannya, apabila perempuan suatu Negara baik, maka baik dan jayalah Negara itu, sebaliknya apanila perempuan suatu Negara buruk makan buruk  dan hancurlah Negara itu.  Bertolak dari kata2 bijak tersebut, sebagai perempuan dan ibu kiranya kita patut tersindir, panas telinga pabila kita hubungkan dengan kenyataan di masyarakat seperti yang tergambar dialinia pertama. Namun kata kata bijak itu kalau kita berfikir jernih dan objektif ada benarnya. Bahwa suatu Negara atau bangsa akan kuat kalau dikelola secara baik oleh pemimpin yang baik. Dan pemimpin yang baik hanyalah akan tercipta dari generasi yang baik pula yang berasal dari didikan keluarga yang baik pula.
Bahwa tidaklah akan terwujud generasi yang suka mencuri, membunuh dan pembuat kejahatan lainnya, kalau dari dalam rumahnya dia sudah di didik untuk tidak berkelakuan seperti itu. Dan pembinaan di dalam rumah tentunya dominan dilakukan oleh seorang ibu.
Oleh karena itu patut kiranya kita para ibu untuk sejenak merenung akan apa , bekal pendidikan apa yang telah kita berikan, kita ajarkan kepada anak anak kita dalam menjalani kehidupannya, sejak kecil hingga dewasa dan terjun kemasyarakat.
Mungkin sangat menyakitkan kalau kita katakana misalnya ; para koruptor itu telah lahir dan  di besarkan dan di didik oleh seoang ibu yang pencuri dan atau tidak pernah mengajarkan mencuri itu buruk; Seorang penjahat atau pembunuh tidak pernah diajarkan oleh ibunya , bahwa membunuh berkelahi itu suatu kejahatan.
Maka dalam kesempatan ini, patut kiranya kita jadikan momentum, mari kita sama-sama introspeksi diri, agar supaya ucapan yang kita terima pada , “Mother’sday”, berupa,” thanks Mom !”, menjadi layak  dan pantas untuk kita terima dan bahwa suatu hari kelak, bangsa yang besar ini akan menjadi bangsa yang paling jaya di dunia, karena dipimpin oleh generasi yang baik, hasil didikan dari ibu dan perempuan yang baik.
Bekasi, 22 Desember 2013.
Wassalam ,
Uni Marni Malay

Jumat, 11 Oktober 2013

Universitas Islam As-Syafiiyah

 

Top of Form
Bottom of Form
= Makalah =



POLITIK HUKUM ISLAM
DITINJAU DALAM PERSPEKTIF
SEJARAH HUKUM


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Hukum Pada Semester I Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum di Universitas Islam As-Syafiiyah.


Disusun Oleh       : Marni Malay, SH.
Dosen                   : Prof. Dr. Hamdan Zoelva, SH. MH.              





Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum
JAKARTA - INDONESIA
2012
 


ABASTRAK

Politik hukum adalah menyangkut hukum kebijakan hukum yang dimbil oleh penguasa negara yang berwenang untuk mewujudkan tujuan negara yang akan mempengaruhi masyarakat negara yang bersangkutan, yang mendambakan kehidupan yang tertib, aman, damai, sejahtera lahir bathin, karena mana hukum yang diharapkan adalah hukum yang adil dan dapat memberikan kesejahteraan bagi msyarakat, hukum yang bukan merupakan paksaan dari penguasa melainkan sesuai dengan kehendak warganegara.  

Dari sudut pandang Islam, politik adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam oleh pemimpin pemerintahan negara (khalifah). Bagi setiap Muslim negara adalah alat untuk merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan Allah, kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya. Oleh karena itu dalam mekanisme operasional pemerintahan negara seyogianya mengacu pada prinsip-prinsip syari’ah. Islam sebagai landasan etika dan moral direalisir dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Di Indonesia dengan mayoritas masyarakat beragama Islam, ajaran Islam telah berakar pada kekuatan sosial budaya, namun perkembangan   politik hukum Islam telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara, sehingga diperlukan pendekatan strategis-politis secara berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu.

Bahwa hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa dukungan politik sulit digali dan diterapkan, sebaliknya politik yang mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Semakin baik hubungan Islam dan politik semakin besar peluang hukum Islam diaktualisasikan, dan semakin renggang hubungan Islam dan politik, semakin kecil peluang hukum Islam diterapkan




ABSTRACT


Political law is the law regarding legal policy taked by the competent state authorities to realize the goal of which will affect the state of the country concerned , who crave life orderly, safe, peaceful, prosperous and mentally, for which the expected law is the law fair and can provide welfare for msyarakat, which is not a legal compulsion of authority but rather in accordance with the will of citizens.

From the point of view of political Islam is setting affairs (interests) both people inside the country and abroad based on Islamic laws by state government leaders ( caliphs ). For every Muslim country is a tool to realize his position as a servant of God and actualize its function as vicegerent of Allah, to attain the pleasure of Allah, and hereafter worldly prosperity, as well as being a mercy to our fellow human beings and the natural environment. Therefore the state government operation mechanism should refer to the principles of Shari'ah. Islam as the foundation of ethics and morals are realized in the life of society, nation and state.

In Indonesia with a majority Muslim society, Islam has its roots in socio- cultural forces, but political developments of Islamic law has ebbed and flowed along with the applicable law by the political power of the state, so the political - strategic approach is required on an ongoing basis, either through political infrastructure and political superstructure to support the socio-cultural forces.

That Islamic law and politics are two sides that can not be separated in an Islamic society. Islamic law without political support is difficult explored and implemented, otherwise ignore the political Islamic law will lead to chaos in society. The better the relationship between Islam and politics Islamic law the greater the chance actualized , and the tenuous relationship between Islam and politics, the smaller the chances of Islamic law is applied.




KATA PENGANTAR


Alhamdullilah,
Makalah yang berjudul, “ POLITIK HUKUM ISLAM DITINJAU DALAM PERSPEKTIF SEJARAH HUKUM “, ini dapat Penulis selesaikan untuk memenuhi tugas dalam Mata Kuliah Sejarah Hukum pada Semester I Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum di Universitas Islam As-Syafiiyah.

Penulis menghaturkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Hamdan Zoelva, SH. MH., Dosen Mata Kuliah Sejarah Hukum, atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan selama Penulis menyusun makalah ini.

Penulis telah berusaha untuk menyelesaikan penulisan makalah ini dengan sebaik baiknya sesuai dengan kemampuan dan ilmu yang dimiliki, namun Penulis menyadari, “ Tak ada gading yang tak retak ”, oleh karena itu Penulis mengharapkan dan akan sangat berterima kasih terhadap pembaca yang berkenan memberikan saran dan kritik  untuk kesempurnaan makalah ini. 

Jakarta, 30 Juni 2012

Wassalam,
Penulis.




Marni Malay, SH.







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut, apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelaksanaan kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya. Bahwa politik suatu negara akan mempengaruhi masyarakat, yang mendambakan kehidupan yang tertib, aman, damai, sejahtera lahir batin, yang tidak bisa dilepaskan dari system politik yang diterapkan di negara yang bersangkutan.
Sedangkan politik hukum adalah menyangkut kebijakan hukum yang dimbil oleh penguasa Negara yang berwenang untuk mewujudkan tujuan Negara. Menurut paham filsafat idealisme Plato dan Aristoteles, hukum yang diharapkan adalah hukum yang adil dan dapat memberikan kesejahteraan bagi msyarakat, hukum yang bukan merupakan paksaan dari penguasa melainkan sesuai dengan kehendak warga Negara, dan untuk mengatur hukum itu dibutuhkan konstitusi yang memuat aturan-aturan dalam hidup bernegara.
Dari sudut pandang Islam politik adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam oleh pemimpin pemerintahan negara (khalifah), sebagai mana sabda Rasullulah :

Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak”(HR Muslim dari Abu Hurairah ra).

Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah Nabi, dan esensi politik Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Bahwa menurut teori Islam, dalam mekanisme operasional pemerintahan negara seyogianya mengacu pada prinsip-prinsip syari’ah. Islam sebagai landasan etika dan moral direalisir dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa dukungan politik sulit digali dan diterapkan, sebaliknya politik yang mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Semakin baik hubungan Islam dan politik semakin besar peluang hukum Islam diaktualisasikan, dan semakin renggang hubungan Islam dan politik, semakin kecil peluang hukum Islam diterapkan. Hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghazali:

“Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.

Endang Saifuddin Anshari (1986:167) mengatakan, “Negara adalah organisasi (organ, badan atau alat) bangsa untuk mencapai tujuannya.” Oleh karena itu, bagi setiap Muslim negara adalah alat untuk merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan Allah, kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya. [1]  

Di Indenesia dengan masyarakat muslim mayoritas, berlakunya hukum Islam telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahwa hukum Islam yang telah berakar pada kekuatan sosial budaya masyarakat yang beragam Islam, di mana hukum Islam telah menga1ami perkembangan secara berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu.

Makalah ini akan memaparkan Poltik Hukum Islam Dalam perspektif Sejarah Hukum, yaitu tentang bagaimana politik hukum Islam berkembang dan berubah serta apa yang menyebabkan perkembangan dan perubahannya, sejalan dengan perkembangan peradaban masyarakat Islam dari zaman ke zaman, dengan mempelajari ruang lingkup sejarah pembentukan dan perkembangan hukum Islam (Tarikh Tasyri’), serta bagaimana transpormasi politik hukum Islam terhadap penerapan hukum Islam bagi kepentingan masyarakat Islam di Indonesia.

B.     Perumusan Masalah  
Permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini :
“ Bagaimana pengaruh politik hukum Islam dalam perspektif sejarah hukum di Indonesia ? “.

C.    Tujuan Dan Kegunaan Penulisan
1.      Tujuan Penulisan.
Penulisan makalah ini ditujukan untuk mengetahui :
a.       Mengetahui tentang politik hukum Islam  dan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam terutama dalam penerapan hukum terhadap masyarakat Indonesia yang beragama Islam. 
b.      Mengetahui dan atau meneliti tentang dasar pemikiran Ajaran Islam tentang politik hukum.    
c.       Mengetahui dan meneliti dasar pembentukan hukum positif di Indonesia dalam hal ini Hukum Islam serta implementasinya terhadap masyarakat.
2.      Kegunaan Penulisan.
Penulis berharap makalah ini akan bermanfaat dan dapat memberikan :
-          Kegunaan Praktis, adalah keseluruhan data dan informasi yang disajikan dalam bentuk laporan hasil penulisan, diharapkan dapat memberikan masukan dalam pembentukan hukum Islam  yang  akan ditetapkan menjadi hukum positif.
-          Kegunaan Teoritis, diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan hukum, politik hukum, dan di implementasikan terhadap penanganan masalah hukum dalam masyarakat  secara berkeadilan.  

D.    Methode Penulisan
Penulisan makalah ini bersifat studi kepustakaan (library research), di mana data  diperoleh berdasarkan melalui buku-buku, peraturan perundang-undangan, dan laporan, makalah dan artikel-artikel yang berhubungan dengan pembahasan makalah ini dan melalui internet.



BAB II
KERANGKA TEORITIS

A.    Sejarah Hukum

Sejarah Hukum yaitu tentang bagaimana hukum berkembang dan berubah serta apa yang menyebabkan perkembangan dan perubahannya, sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Sejumlah ahli hukum dan pakar sejarah, sejarah hukum dipandang sebagai catatan mengenai evolusi hukum dan penjelasan teknis tentang bagaimana hukum berkembang dengan pandangan tentang pemahaman yang lebih baik mengenai asal-usul dari berbagai konsep hukum.
  
Para sejarawan abad ke-20 memandang sejarah hukum dalam cara yang lebih kontekstual, lebih sejalan dengan pemikiran para sejarawan sosial. Mereka meninjau lembaga-lembaga hukum sebagai sistem aturan, pelaku dan lambang yang kompleks, dan melihat unsur-unsur ini berinteraksi dengan masyarakat untuk mengubah, mengadaptasi, menolak atau memperkenalkan aspek-aspek tertentu dalam masyarakat, mereka cenderung menganalisis sejarah kasus dari parameter penelitian ilmu sosial, dengan menggunakan metode-metode statistik, menganalisis perbedaan kelas antara pihak-pihak yang mengadukan kasusnya, mereka yang mengajukan permohonan, dan para pelaku lainnya dalam berbagai proses hukum. Dengan menganalisis hasil-hasil kasus, biaya transaksi, jumlah kasus-kasus yang diselesaikan, mereka telah memulai analisis terhadap lembaga-lembaga hukum, praktik-praktik, prosedur dan amaran-amarannya yang dapat memberi gambaran yang lebih kompleks tentang hukum dan masyarakat daripada yang dapat dicapai oleh studi tentang yurisprudensi, hukum dan aturan sipil.[2]

Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan, politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Hukum dapat dibagi dalam berbagai bidang, antara lain hukum perdata, hukum publik, hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam, hukum agraria.

Ilmu sejarah hukum tergolong pegetahuanyang masih muda dan belum banyak dikenal bahkan dikalangan pakar hukum sendiri sehingga pertumbuhan dan perkembangannya belum menggembirakan. Hal ini mungkin sekali disebabkan oleh belum disadarinya betapa pentingnya disiplin ilmu sejarah hukum dalam menunjang dan memahami ilmu pengetahuan hukum. Menurut John Gillisen dan Frist Gorlé, terdapat manfaat yang besar dalam mempelajari sejarah hukum, antara lain :[3]
1.   Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak (Hukum Belgia,Hukum Amerika, Hukum Indonesia, dll), malainkan juga dalam lintasan waktu. Hal ini berlaku bagi sumber hukum formil, yakni bentuk-bentuk penampakan diri norma hukum, maupun isi norma hukum itu sendiri (sumber-sumber hukum materiil).
2.      Norma-norma hukum sering kali hanya dapat dimengerti melalui sejarah hukum.
3.      Sedikit banyak mempunyai pengertian mengenai sejarah hukum, yang merupakan pegangan penting bagi yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata hukum.
4.      Hal ikhwal yang teramat penting di sini adalah perlindungan hak asasi manusia terhadap perbuatan semena-mena bahwa hukum diletakan dalam perkembangan sejarahnya serta diakui sepenuhnya sebagai sesuatu gejala histories.

Sejarah hukum merupakan bagian dari sejarah umum, yang tersaji dalam bentuk sinopsis suatu keterpaduan seluruh aspek kemasyarakatan dari abab ke abad, yakni sejak untuk pertama kali tersedia informasi sampai masa kini. Sebagai ilmu pengetahuan, sejarah hukum tergolong ilmu pengetahuan sosial atau ilmu pengetahuan kemanusiaan (humaniora), yang memunyai kesamaan dengan ilmu pengetahuan alam, yakni semua adalah empiris, artinya bertumpu pada pengamatan dan pengalaman suatu aspek tertentu dari kenyataan. Sejarah mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya, sedangkan sejarah hukum merupakan satu aspek tertentu dari hal itu, yakni hukum. Apa yang berlaku untuk seluruh, betapapun juga berlaku untuk bagian, sehingga sejarah hukum dapat menentukan dalil-dalil atau hukum-hukum perkembangan kemasyarakatan. Bahwa sejarawan hukum sangat penting memberikan sumbangsihnya kepada penulisan sejarah secara terpadu, mengingat peran besar yang dimainkan oleh hukum di dalam perkembangan pergaulan hidup manusia. Hal tersebut integral dalam pengertian bahwa ia tidak dapat diwujudkan dengan memisahkan hukum dari gejala-gejala kemasyakatan lainnya, yang antra hal-hal tersebut dengan hukum dapat ditelusuri keterkaitannya.

Penelitian tatanan-tatanan hukum primitif tuna aksara dan tatanan hukum yang lebih maju menunjukan bahwa sumber hukum primer adalah kebiasaan (hukum). Di semua pergaulan hidup nampaknya suasana kehidupan menyebabkan terbentuknya kebiasaan-kebiasaan. Untuk dapat dikatakan kebiasaan hukum harus memenuhi persyaratan : [4]
1)      kebiasaan itu tidak boleh merupakan kebiasaan individual, melainkan suatu kebiasaan kemasyarakatan;
2)      kebiasaan itu harus menyangkut suatu perbuatan (komisi) atau penahanan diri (omnisi), yang dalam kehidupan bermasyarakat meluangkan berbagai (setidak-tidaknya dua) kemungkinan;
3)      kehidupan (kebiasaan) ini harus dialami oleh masyarakat sebagai suatu yang mempunyai kekuatan mengikat ; dan
4)      kebiasaan tersebut harus dikukuhkan oleh penguasa umum.

Menurut Hart, ahli filsafat hukum Inggris, pengukuhan kebiasaan-kebiasaan merupakan gejala yang disebut “aturan pengukuhan” (rule of recognition). Ketentuan-ketentuan tersebut, baik larangan langsung atau tidak langsung maupun berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap penguasa merupakan norma-norma hukum yang mengandung sebuah perikatan berdasarkan hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan kemasyarakatan dan kepentingan-kepentingan timbal balik yang saling mempengaruhi yang terjadi dalam kebiasaan-kebiasan masyarakat yang tumbuh dan berkembang dan aturan-aturan hukum yang dibuat penguasa sangat bergantung pada perimbangan-perimbangan kekuatan antara berbagai kelompok masyarakat dan penguasa. Selanjutnya mengenai Keadilan, Keseimbangan,dan Kepastian Hukum, (Pembagian lebih lanjut atutarn-aturan menurut Hart) Hart,  menamakan norma-norma dengan “aturan-aturan hukum primer”dan “aturan-aturan sekunder”. Norma-norma tersebut telah menjawab atau merespon yang oleh Redbruch dianggap sebagai komponen ide hukum, yakni keadilan dengan asas keseimbangan dan kepastian hukum dalam masyarakat. Konsensus yang terjadi antara yang memerintah dan yang diperintah, bertumpu pada suatu gagasan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban yang dapat dijadikan dasar keadilan. Pengakuan, pengukuhan, dan pemberian sanksi kebiasaan oleh penguasa inilah awal dari perundang-undangan, selanjutnya dibangun peradilan untuk memberikan putusan-putusan oleh pejabat-pejabat yang ditunjuk untuk itu.

Pada umumnya semua bangsa pernah mengalami evolusi hukum selama berabad-abad sebelum periode mereka mempergunakan aksara. Perbedaan antara pra sejarah hukum dan sejarah hukum pada hakikatnya terletak pada perbedaan sebelum atau sesudah adanya aksara, yang berbeda antara bangsa-bangsa, misalnya; bangsa Mesir peralihan tersebut terjadi sekitar abad ke- 28 dan 27 SM, bangsa Romawi antara abad ke- 5 dan 6 SM, bangsa Germania pada ke-5sesudah Masehi. Kemudian hukum yang berasal dari bangsa Romawi tersebut, pada abad XIII muncul di Jerman, berkembang serta berevolusi, yang dikenal dengan sistem hukum eropa continental / civil law, biasa disebut sistem hukum Romawi-Jerman. Sistem hukum ini berkembang dari Jerman ke Prancis kemudian ke Belanda, Belanda menjajah Indonesia, mempengaruhi hukum di Indonesia. Di Inggris berkembang pula, Sistem hukum anglo sexon/anglo amerika/common law, yang berlaku di Negara jajahan Inggris dan Amerika. Perbedaan antara  keduanya adalah :

- Eropa continental / civil law    : menekankan kepada kepastian hukum
- Anglo sexon/ common law       : penapsiran hukum untuk keadilan

Sistem hukum Indonesia, setelah Indonesia merdeka masih tetap memberlakukan hukum colonial Belanda (eropa continental / civil law), sebagaimana diatur dalam pasal II aturan peralihan UUD 1945, yang memberlakukan hukum kolonial Belanda, sehingga Sistem hukum Indonesia terdiri dari 4 sub sub sistem hukum :
-          Hukum nasional,  Hukum yang dibuat setelah merdeka oleh lembaga pembentuk UU/pemerintah, bentuknya tertulis dan mempunyai tingkatan herarki perUU.
-          Hukum kolonial (Belanda), Masih berlakunya hukum warisan kolonial (hukum perdata/BW, hukum Pidana umum, dll. sepanjang belum dicabut masih tetap berlaku), membuktikan masih berpengaruhnya sistem hukum eropa di Indonesia.
-          Hukum Adat, sebagai sumber pembentukan hukum nasional
-          Hukum Agama, Mempengaruhi hukum Indonesia. Contoh hukum peradilan agama, perkawinan Islam (Kompilasi Hukum Islam Indonesia).

Demikian juga halnya perkembangan hukum yang berdasarkan agama yang dimulai sejak lahirnya agama itu, seperti misalnya sejarah perkembangan hukum Islam pada pertengahan abat ke-6 Masehi yang bersumber dari Al’Quran dan hadist Rasul.


B.     Politik Hukum

Secara etimologis, istilah politik hukum berasal dari istilah hukum Belanda rechtpolitiek (recht dan politiek), kata recht berarti hukum yang berasal dari bahasa arab, Hukm (kata jamaknya ahkam), yang berarti ( Judgement, verdict, decision), ketetapan (provision ), pemerintah (command ), pemerintahan (government), kekuasaan (author,power), hukuman (sentences) dan kata akama-yahkumu, berarti memutuskan, mengadili, menetapkan, memerintahkan, memerintah, menghukum, mengendalikan, dll. Dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh ven derTas, kata politiek  mengandung arti beleid, yang dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan (Policy). Dalam kamus besar bahasa Indonesia kebijakan berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak, sehingga secara singkat, politik hukum berarti kebijakan hukum”.

Istilah politik hukum sudah sangat banyak digunakan dalam berbagai disiplin ilmu hukum. Beberapa pakar hukum mengungkapkan pengertian politik hukum, sebagai :
1.      Teuku Mohammad Radhie, dalam bukunya Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan nasional memberikan pengertian politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasaan Negara mengenai hukum yang berlaku diwilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.
2.      Sunaryati Hartono, mengemukakan, politik hukum adalah menyangkut hukum mana yang perlu dibentuk (diperbaharui, diubah atau diganti), hukum mana yang harus dipertahankan agar secara bertahap tujuan Negara dapat terwujud.
3.      Padmo Wahjono, dalam bukunya Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum mendefenisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yangm menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.
4.      Satjipto Rahardjo, politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
5.      Moh. Mahfud MD, mengatakan bahwa politik hukum adalah “legal policy”, atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan peggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara”. Dalam buku, Dasar Dasar Politik Hukum, Moh. Ia berkesimpulan bahwa suatu proses dan konfigurasipolitik rezim tertentu akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap suatu bentuk produk hukum yang kemudian dilahirkannya, dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis,produk hukum berkarakter responsive atau populistik, sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter, produk hukumnya berkarakter ortodoks atau konservatif atau elitis.

Tujuan politik hukum, Soehino mengemukakan 3 tujuan pengkajian politik hukum :
1.      Agar orang mampu memahami pemikiran-pemikiran masa lampau, yang melatar belakangi penetapan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum yang sedang berlaku, dengan demikian mampu mengaplikasikan atau menerapkan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana mestinya.
2.      Agar orang mampu menentukan dan memilih pemikiran-pemikiran tersebut diatas, yang dapat dipergunakan sebagai atau menjadi dasar penetapan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum ius constitutum dari ius constituendum yang berlaku dalam rangka menghadapi perkembangan, perubahan, atau pertumbuhan kehidupan bermasyarakat. Sehingga mampu menetapkan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum baru sesuai dengan kebutuhan kehidupan bermasyarakat.
3.      Agar orang mampu memahami kebijakan yang menggariskan kerangka dan arah tata hukum, sehingga dapat menerapkan dan mengembangkan hukum sesuai dengan kebutuhan hidup bermasyarakat dalam satu sistem.

Selanjutnya, wilayah kajian politik hukum yang menjadi wilayah telaahan dari politik hukum sebagai berikut:[5]
1.      Proses penggalian nilai nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat oleh penyelanggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
2.      Proses perdebatan dan perumusan nilai nilai dan aspirasi tersebut kedalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang undangan oleh penyelenggara negara yangberwenang merumuskan politik hukum.
3.      Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan/menetapkan politik hukum.
4.      Peraturan perundang undangan yang mempengaruhi dan menentukan suatu politk hukum, baik yang akan, sedang dan telah ditetapkan.
5.      Pelaksanaan dari peraturan perundang undangan yang merupakan implementasi daripolitik hukum suatu Negara.

Demikianlah Politik hukum pada mulanya dimaknai sebagai legal policy (kebijakan hukum) yang berlaku di suatu wilayah tertentu. Politik hukum dalam makna demikian mengandung pengertian politik hukum menganut asas lokalitas, artinya, implementasinya terbatas pada wilayah di mana legal policy tersebut berlaku. Selanjutnya, politik hukum juga dipahami sebagai suatu kerangka berfikir dalam menentukan sekaligus memahami kebijakan hukum, artinya, politik hukum juga berguna untuk mengetahui arah pembangunan dan pembaharuan hukum yang hendak dicapai dari legal policy itu. Dalam hal ini, politik hukum secara umum bermanfaat untuk mengetahui bagaimana proses yang tercangkup dalam wilayah kajian itu dapat menghasilkan sebuah legal policy yang sesuai kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat. Ke-lima wilayah kajian itu tentu saja bersifat integral satu sama lain. Jadi dapatlah dikatakan bahwa :

hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum cenderung mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum.

Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek yaitu proses pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu: “whatever the government choose to do or not to do”. Politik hukum juga didefinisikan sebagai pembangunan hukum.[6]


C.    Politik Dan Konsep Negara Hukum

Istilah Negara Hukum baru dikenal pada Abad XIX, tetapi konsep Negara Hukum telah lama ada dan berkembang sesuai dengan tuntutan keadaan. Dari jaman Plato hingga kini, konsepsi Negara Hukum telah banyak mengalami perubahan yang mengilhami para filsuf dan para pakar hukum untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan Negara Hukum dan hal-hal apa saja yang harus ada dalam konsep Negara Hukum.

Perkembangan Negara Hukum sudah ada sejak jaman Plato dan Aristoteles.  yang mengintrodusir Negara Hukum adalah negara yang diperintah oleh negara yang adil. Dalam filsafatnya, keduanya menyinggung angan-angan (cita-cita) manusia yang berkorespondensi dengan dunia yang mutlak yang disebut : [7]
a.       Cita-cita untuk mengejar kebenaran (idée der warhead);
b.      Cita-cita untuk mengejar kesusilaan (idée der zodelijkheid);
c.       Cita-cita manusia untuk mengejar keindahan (idee der schonheid);
d.      Cita-cita untuk mengejar keadilan (idée der gorechtigheid).
Plato dan Aristoteles menganut paham filsafat idealisme. Menurut Aristoteles, keadilan dapat berupa komunikatif (menjalankan keadilan) dan distribusi (memberikan keadilan). Menurut Plato yang kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles, bahwa hukum yang diharapkan adalah hukum yang adil dan dapat memberikan kesejahteraan bagi msyarakat, hukum yang bukan merupakan paksaan dari penguasa melainkan sesuai dengan kehendak warga Negara, dan untuk mengatur hukum itu dibutuhkan konstitusi yang memuat aturan-aturan dalam hidup bernegara.
Jika ditelaah secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Al-Qur’an dan Sunnah atau Nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon rule of law, konsep sosialist legality, dan konsep negara hukum pancasila.  Di sisi lain, Negara hukum dimulai dari konsepsi Negara hukum liberal (nachwachter staat/negara sebagai penjaga malam) ke negara hukum formal (formele rechtsstaat) kemudian menjadi negara hukum materiil (materiele rechtsstaat) hingga pada ide negara kemakmuran (welvarstaat) atau negara yang mengabdi kepada kepentingan umum (social service state atau sociale verzorgingsstaat). Menuru Philipus M. Hadjon hanya ada 3 (tiga) konsep negara hukum, yaitu: rechtstaats, the rule of law, dan negara hukum pancasila.
Muhammad Taher Azhary, dalam bukunya yang berjudul Negara Hukum (Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah Dan Masa Kini), mengemukakan ada lima (5) macam konsep negara hukum, sebagai species begrip yaitu:
1.      Negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah (Nomokrasi Islam) lebih tepat dan lebih memperlihatkan kaitan nomokrasi atau negara hukum  dengan hukum Islam;
2.      Negara hukum menurut Konsep Eropa kontinental yang dinamakan rechtsstaat, model negara hukum ini diterapkan misalnya di Belanda, Jerman dan Perancis;
3.      Konsep rule of law yang diterapkan di negara-negara Anglo-Saxon, antara lain Inggris dan Amerika Serikat;
4.      Suatu konsep yang disebut socialist legality yang diterapkan antara lain di Uni Soviet sebagai negara komunis; dan
5.      Konsep Negara Hukum Pancasila.
Dalam konsepsi Negara hukum terkandung prinsip-prinsip negara hukum (nomocratie), yang masing-masing prinsip dari kedua konsepsi tersebut dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Paham negara hukum yang demikian dikenal dengan sebutan “negara hukum yang demokratis” (democratische rechtsstaat) atau dalam bentuk konstitusional disebut constitutional democracy. Disebut sebagai “negara hukum yang demokratis”, karena di dalamnya mengakomodasikan prinsip-prinsip Negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi.

Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang ditaati bersama dalam konteks kehidupan bernegara, di mana terkait pula dimensi-dimensi kekuasaan yang bersifat vertical antar institusi negara dengan warga negara. Oleh karena itu, negara hukum itu harus ditopang dengan system demokrasi karena terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum yang bertumpu pada konstitusi, dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini. Akan tetapi, demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sementara hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna.

Menurut Frans Magnis Suseno, demokrasi yang bukan negara hukum bukan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara yang paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum. Dengan demikian dalam negara hukum yang demokratis, hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan “tangan besi” berdasarkan kekuasaan semata (machtsstaat). Sebaliknya, demokrasi haruslah diatur berdasar atas hukum (rechtsstaat) karena perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrumen hukum untuk mencegah munculnya mobokrasi, yang mengancam pelaksanaan demokrasi itu sendiri.

Indonesia sebagai negara yang terlahir pada abad modern melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 juga “mengklaim” dirinya sebagai Negara hukum. Hal ini terindikasikan dari adanya suatu ciri negara hukum yang prinsip-prinsipnya dapat dilihat pada Konstitusi Negara R. I. (sebelum dilakukan perubahan), yaitu dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh (non Pasal-pasal tentang HAM), dan Penjelasan UUD 1945 dengan rincian :
1.      Pembukaan UUD 1945, memuat dalam alinea pertama kata “perikeadilan”, dalam alinea kedua “adil”, serta dalam alinea keempat terdapat perkataan “keadilan sosial”, dan “kemanusiaan yang adil”. Semua istilah itu berindikasi kepada pengertian negara hukum, karena bukankah suatu tujuan hukum itu untuk mencapai negara keadilan. Kemudian dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat juga ditegaskan “maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia”.
2.      Batang Tubuh UUD 1945, Pasal 27, menetapkan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini selain menjamin prinsip equality before the law, suatu hak demokrasi yang fundamental, juga menegaskan kewajiban warga negara untuk menjunjung tinggi hukum suatu prasyarat langgengnya negara hukum; dan
3.      Penjelasan UUD 1945, merupakan penjelasan autentik dan menurut Hukum Tata Negara Indonesia, Penjelasan UUD 1945 itu mempunyai nilai yuridis, dengan huruf  besar menyatakan: “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)  

Dalam Seminar Nasional Indonesia pada tahun 1966 di Jakarta tentang Indonesia Negara Hukum, yang mana salah satu hasil Seminar adalah dirumuskannya prinsip-prinsip Negara Hukum yang menurut pemikiran saat itu, prinsip ini dapat diterima secara umum. Prinsip-prinsip itu adalah :
a.       Prinsip-prinsip jaminan dan perlindungan terhadap HAM;
b.      Prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak, artinya.
Kedudukan peradilan haruslah independen tetapi tetap membutuhkan pengawasan baik internal dan eksternal. Pengawasan eksternal salah satunya dilaksanakan oleh Komisi Ombudsman (dibentuk dengan Keppres No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman) yaitu Lembaga Pengawas Eksternal terhadap Lembaga Negara serta memberikan perlindungan hukum terhadap publik, termasuk proses berperkara di Pengadilan mulai dari perkara diterima sampai perkara diputus.



BAB III
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Pembentukan Dan Perkembangan Hukum Islam

Sejarah terbentuknya perundang-undangan dalam Islam, atau sejarah pembentukan hukum Islam, dalam bahasa Arab disebut, Tarikh Tasyri’[8]  Pembentukan undang-undang ini sumbernya dari Allah dengan perantaraan Rasul dan kitab-kitabnya, maka hal itu dinamakan perundang-undangan Allah (at-Tasyri'ul Ilahiyah), sedangkan sumber datang dari manusia baik secara individual maupun kolektif dinamakan perundang-undangan buatan manusia (at-Tasyri'ul Wad'iyah). Pengertian tarikh tasyri' menurut Ali As Sayis adalah Ilmu yang membahas keadaan hukum pada zaman Rasul dan sesudahnya dengan uraian dan periodesasi yang padanya hukum itu berkembang, serta membahas ciri-ciri spesifikasinya keadaan fuqoha dan mujtahid dalam merumuskan hukum itu.[9]   

Ruang lingkup sejarah pembentukan hukum Islam (Tarikh Tasyri’) tak terbatas pada keadaan perundang-undangan Islam dari zaman ke zaman yang ditinjau dari sudut pertumbuhan perundang-undangan Islam, termasuk di dalamnya hal-hal yang menghambat dan mendukungnya serta biografi sarjana-sarjana fiqh yang banyak mengarahkan pemikirannya dalam upaya menetapkan perundang-undangan. Kamil Musa dalam al-madhkal ila tarikh at-Tasyri' al-Islami, mengatakan bahwa Tarikh Tasyri' tidak terbatas pada sejarah pembentukan al Qur'an dan As Sunnah. Ia juga mencakup pemikiran, gagasan dan ijtihad ulama pada waktu atau kurun tertentu.

Sejarah Pembentukan Dan Perkembangan Hukum Islam penting untuk di bahas di sini karena Politik Hukum Islam merupakan jiwa dari pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam itu sendiri.  Dalam menyusun sejarah pembentukan dan pembinaan hukum (fiqh) Islam, dikalangan ulama fiqh kontemporer terdapat beberapa macam cara. Dua diantaranya yang terkenal adalah cara menurut Syekh Muhammad Khudari Bek (mantan dosen Universitas Cairo) dan cara Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fiqh Islam Universitas Amman, Yordania) :[10]
Cara pertama, periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syekh Muhammad Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh at-Tasyri' al-Islamy (Sejarah Pembentukan Hukum Islam). Ia membagi masa pembentukan hukum (fiqh) Islam dalam enam periode, yaitu :
1.      Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah jadi Rasul.
2.      Periode para sahabat besar
3.      Periode sahabat kecil dan thabi'in;
4.      Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H;
5.      Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan
6.      Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-1265] sampai sekarang.
Cara kedua, pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa dalam bukunya, al-Madkhal al-Fiqhi al-'Amm (Pengantar Umum fiqh Islam). Ia membagi periodisasi pembentukan dan pembinaan hukum Islam dalam tujuh periode. Ia setuju dengan pembagian Syekh Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia membagi periode keenam menjadi dua bagian, yaitu:
1.      Periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada tahun 1286 H; dan
2.      Periode sejak munculnya Majalah al-Al-Akam al-'Adliyyah sampai sekarang.
Secara lengkap periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa adalah sebagai berikut :

Periode awal, Masa Rasulullah SAW., kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan Rasulullah, sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur'an. Apabila ayat Al-Qur'an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunnah Rasulullah SAW. Istilah fiqh dalam pengertian yang dikemukakan ulama fiqh klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. ilmu dan fiqh pada masa Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW. Pengertian fiqh di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat dipahami dari nash (ayat atau hadits), baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum, maupun kebudayaan. Disamping itu, fiqh pada periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu masalah baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu. Pada periode Rasulullah belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa periode sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah telah mengemukakan kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal dari Al-Qur'an maupun dari sunnahnya sendiri.

Periode kedua, Masa al-Khulafa' ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad ke-l H. Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah yang menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat, rujukan untuk bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar melihat bahwa perlu dilakukan ijtihad apabila hukum untuk suatu persoalan yang muncul dalam masyara'at tidak ditemukan dalam Al-Qur'an atau sunnah Rasulullah. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan budaya di masing-masing daerah. Dalam keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk melakukan ijtihad dan menjawab persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan hasil ijtihad mereka. Ketika itu para sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul dan memusyawarahkan persoalan itu. Apabila sahabat yang menghadapi persoalan itu tidak memiliki teman musyawarah atau sendiri, maka ia melakukan ijtihad sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang telah ditinggalkan Rasulullah SAW. Pengertian fiqh dalam periode ini masih sama dengan fiqh di zaman Rasulullah SAW, yaitu bersifat aktual, bukan teori. Artinya, ketentuan hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu saja, tidak merambat kepada kasus lain secara teoretis.

Periode ketiga, dimulai dari masa pemerintahan Mua’wiyah bin Abu Sufyan tahun 41 H sampai timbulnya segi-segi kelemahan pada kerajaan Arab yakni pada awal abad ke II H. periode ini dimulai dengan bersatunya pendapat jumhur Islam pada Mu’awiyah bin Abu Sufyan, karena itu tahun 41 H disebut ‘amul jama’ah (tahun persatuuan Islam) hanya saja benih perselisihan politik tidak padam, masih ada yang menyembunyikan perselisihan dan tipu daya terhadap Mu’awiyah dan keluarganya, dari golongan Khawarij dan Syi’ah.
Pertengahan abad ke-1H sampai awal abad ke-2 H. merupakan awal pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, para sahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam, masing-masing sahabat mengajarkan Al-Qur'an dan hadits pada penduduk setempat. Di Irak dikenal pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas'ud (Ibnu Mas'ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611M-45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di Makkah. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan masyarakat setempat. Para sahabat ini berhasil membina kader masing-masing yang dikenal dengan para thabi'in. Para thabi'in yang terkenal itu adalah Sa'id bin Musayyab (15-94 H) di Madinah, Atha’ bin Abi Rabah (27-114H) di Makkah, Ibrahiman-Nakha'i (w. 76 H) di Kufah, Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di Basra, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka ini kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyara'at setempat. Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut. Dari perbedaan metode yang dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqh Islam Madrasah al-hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra'yu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-ra'yu dikenal dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah. Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits Rasulullah, di samping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad. Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits Rasulullah yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas maupun kuantitas, dibandingkan dengan yang dihadapi Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz (Hedzjaz) berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya homogen, sedangkan ulama Irak berhadapan dengan masyara'at yang relatif majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak mengherankan jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad. Pada periode ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara' yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini pun usul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istishlah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftirâdî (fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang). Pada periode ketiga ini pengaruh ra'yu (ar-ra'yu; pemikiran tanpa berpedoman kepada Al-Qur'an dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin berkembang karena ulama Madrasah al-hadits juga mempergunakan ra'yu dalam fiqh mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula fiqh Syiah yang dalam beberapa hal berbeda dari fiqh Ahlusunnah wal Jama'ah (imam yang empat). [11]

Periode Keempat, Pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H, disebut sebagai periode gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat; Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali. Pertentangan antara Madrasah al-hadits dengan Madrasah ar-ra'yu semakin menipis, masing-masing pihak mengakui peranan ra'yu dalam berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, bahwa pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata kemudian masing-masing kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok lain. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi yang dikenal sebagai Ahlurra'yu (Ahlulhadits dan Ahlurra'yu), datang ke Madinah berguru pada Imam Malik dan mempelajari kitabnya, al-Muwaththa' (buku hadits dan fiqh). Imam asy-Syafi'i, salah seorang tokoh ahlulhadits, datang belajar kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam Abu Yusuf, tokoh ahlurra'yu, banyak mendukung pendapat ahli hadits dengan mempergunakan hadits-hadits Rasulullah. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah. kitab-kitab fiqh banyak berisi ra'yu dan hadits. Hal ini menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing kelompok. Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai menganut salah satu mazhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan fiqh Mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Di samping sempurnanya penyusunan kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab, dalam periode ini juga disusun kitab-kitab usul fiqh, seperti kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam asy-Syafi'i. Sebagaimana pada periode ketiga, pada periode ini fiqh iftirâdî semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoretis. Oleh sebab itu hukum untuk permasalahan yang mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan. Pertentangan-pertentangan dalam materi usul fiqh merupakan sebab kesibukan ulama untuk menyusun ilmu yang mereka namakan “usul fiqh”  yaitu kaida-kaidah yang wajib diikuti oleh setiap mujtahid dalam istinbath.[12]

Periode Kelima, Pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H, ditandai dengan menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka cukup puas dengan fiqh yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih banyak mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas atau meringkas masalah yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-masing. Lebih jauh, Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai berikut:
1.      Munculnya sikap ta'assub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad;
2.      Para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama sekali. Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqh yang diterapkan hanyalah hukum fiqh mazhabnya; sedangkan sebelum pada suatu mazhab; dan
3.      Munculnya buku-buku fiqh yang disusun oleh masing-masing mazhab, membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut.
Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya terbatas pada mazhab yang dianutnya. Di samping itu perkembangan pemikiran fiqh serta metode iitihad menyebabkan banyaknya upaya tarjadi (menguatkan satu pendapat) dari ulama dan munculnya perdebatan antarmazhab di seluruh daerah, menyebabkan masing-masing pihak/mazhab menyadari kembali kekuatan dan kelemahan masing-masing. Akan tetapi, perdebatan ini kadang-kadang jauh dari sikap-sikap ilmiah.

Periode Keenam, Pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah pada tahun 1286 H, diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta ta'assub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah serta pertimbangan tujuan syara' dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud (konservatif). Upaya mentakhrij (mengembangkan fiqh melalui metode yang dikembangkan imam mazhab) dan mentarjih pun sudah mulai memudar. Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajari sebuah kitab fiqh dari kalangan mazhabnya, sehingga penyusunan kitab fiqh pada periode ini pun hanya terbatas pada meringkas dan mengomentari kitab fiqh tertentu. Di akhir periode ini pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan penguasa pun sudah masuk ke dalam masalah-masalah fiqh. Pada akhir periode ini dimulai upaya kodifikasi fiqh (hukum) Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah.

Periode Ketujuh, Sejak munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga ciri pembentukan fiqh Islam pada periode ini, yaitu:
1.      Munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang diambilkan dari fiqh Mazhab Hanafi;
2.      Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan
3.      Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.
Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah dilatar-belakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim, di samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat harus ada satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan.   Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah, para penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun ketatanegaraan. Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan thabi'in, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab.[13] Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum.
Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan. Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia. Ali Hasaballah, ahli fiqh Mesir mengatakan, upaya penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak, tetapi pembentukan dan pengembangan hukum Islam tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, melainkan dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya; Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah. Menurutnya, ijtihad jama'i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi, sehingga hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam berbagai mazhab.

B.     Perkembangan Politik Hukum Islam

Hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa dukungan politik sulit digali dan diterapkan. Politik yang mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Semakin baik hubungan Islam dan politik semakin besar peluang hukum Islam diaktualisasikan, dan semakin renggang hubungan Islam dan politik, semakin kecil peluang hukum Islam diterapkan. Politik suatu negara akan mempengaruhi masyarakat, yang mendambakan kehidupan yang tertib, aman, damai, sejahtera lahir batin, yang tidak bisa dilepaskan dari system politik yang diterapkan di negara yang bersangkutan. Demikian pula ajaran Islam sebagai ajaran yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh juga diyakini mengandung kajian masalah politik dan kenegaraan. Ibn Khaldun berpendapat, agama memperkokoh kekuatan yang telah dipupuk oleh Negara dan solidaritas dan jumlah penduduk, karena semangat agama bisa meredakan pertentangan dan iri hati yang dirasakan oleh satu anggota dari golongan itu terhadap anggota lainnya, dan menuntun mereka ke arah kebenaran. [14] Jadi adalah adalah keliru pemikiran-pemikiran yang bersifat fanatik terhadap pemikiran barat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur urusan hamba dengan tuhannya dan tidak mengatur masalah-masalah social dan politik , pada hal persoalan yang pertama timbul dalam Islam bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik.[15] 

Dalam bahasa Arab, politik biasanya diwakili oleh kata al-siyasah dan daulah, walaupun kata-kata tersebut dan kata-kata lainnya yang berkaitan dengan politik seperti kadilan, musyawarah, pada mulanya bukan ditujukan untuk masalah politik. Kata siyasah dijumpai dalam bidang kajian hukum, yaitu ketika berbicara masalah imamah, sehingga dalam fiqih dikenal adanya bahasan tentang Fiqih Siyasah. Demikian pula kata daulah pada mulanya dalam Al-qur’an digunakan untuk kasus penguasaan harta dikalangan orang-orang kaya, yaitu bahwa dengan zakat diharapkan harta tersebut tidak hanya berputar pada tangan-tangan orang yang kaya. Karena menurut sifatnya harta tersebut harus mengalir atau berputar, dan tidak hanya dikuasai oleh orang-orang yang kaya (dulatan baina agniya), kata daulah tersebut juga digunakan untuk masalah politik yang sifatnya berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Demikian juga kata keadilan banyak digunakan untuk memutuskan perkara dalam kehidupan; dan kata musyawarah pada mulanya digunakan pada kasus suami istri yang akan menyerahkan anaknya untuk diasuh oleh perempuan lain yang dalam hal ini perlu dimusyawarahkan.[16]  Namun dalam perkembangan selanjutnya sejarah menggunakan kata siyasah dan kata-kata lain yang maknanya berkaitan dengan kata tersebut digunakan untuk pengertian pengaturan masalah kenegaraan dan pemerintahan serta hal-hal lainnya yang terkait dengannya. Rasulullah menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal, antara lain sabda Nabi Muhammad : "Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)
Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Beliau menjawab : "Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).
Berarti secara ringkas Politik hukum Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim. Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa.

Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian kaum muslimin yang  sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33).  

Definisi politik hukum dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.
Rasulullah bersabda:“Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak”(HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah Nabi.  Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghazali: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.

Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).
Adapun umat Islam berbeda pendapat tentang pengertian politik dalam syari’at Islam :
Pendapat Pertama, Islam adalah satu agama yang serba lengkap yang didalamnya terdapat antara lain sistem ketatangaraan atau politik. Dalam bahasa lain, system politik atau fiqih Siyasah merupakan integral dan ajaran Islam. Lebih jauh kelompok ini berpendapat bahwa sistem keteladanan yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad  dan para Khulafaur rasyidin, yaitu sistem khalifah.

Pendapat kedua, Islam adalah agama dalam pengertian barat (sekuler), artinya agama tidak ada hubungannya degan urusan kenegaraan atau sistem pemerintahan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad Saw hanya seorang rasul, seperti rasul-rasul yang lain, yang mempunyai misi menyiarkan agama bukan sebagai pemimpin dan pengatur Negara.

Pendapat ketiga, menyatakan menolak bahwa Islam merupakan agama yang serba lengkap yang terdapat didalamnya segala sistem kehidupan termasuk sistem ketatanegaraan, tetapi juga menolak pendapat bahwa islam sebagaimana pendapat barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhan. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Namun perlu diingat, sejarah membuktikan bahwa nabi kecuali seorang rasul atau kepala agama beliau adalah sebagai kepala negara. Nabi menguasai wilayah Yasrib atau Madinah al-Munawarah sebagai wilayah kekuasaan nabi, sekaligus menjadi pusat pemerintahannya dengan Piagam Madinah sebagai aturan dasar negaranya. Sepeninggal nabi, kedudukan beliau sebagai kepala Negara digantikan oleh Abu Bakar yang merupakan hasil kesepakatan para tokoh sahabat, selanjutnya disebut Khalifah. Sistem pemerintahannya disebut Khilafah, sistem ini berlangsung hingga kepemimpinan dibawah kekuasaan Ali bin Abi Tholib.

Semua orang mengakui bahwa semua tata aturan yang Rasulullah Saw tegakkan bersama-sama para mukmin di Madinah, apabila ditinjau dari segi kenyataan dan dibandingkan dengan ukuran-ukuran politik pada masa modern ini dapatlah kita katakan bahwa tata aturan itu merupakan tata aturan politik. Dalam pada itu tidak ada hubungan kita mengatakan bahwa tata aturan itu berciri keagamaan, yaitu apabila kita lihat kepada tujuan-tujuannya dan penggerak-penggeraknya. Kalau demikian, dapatlah kita mengatakan bahwa tata aturan Islam itu adalah tata aturan yang bersifat politik dan bersifat agama. Hal itu karena hakikat Islam meliputi segi-segi kebendaan (maddiyah) dan segi-segi kejiwaan (ruhiyah)dan dia mencakup segala amal insani dalam kehidupan duniawiyah dan ukhrawiyah. Islam adalah agama pembaharu yang terasingkan dari tempat di mana ia diturunkan. Kota Makkah dengan berbagai corak kehidupan masyarakat sosial belum mampu menerima sepenuhnya kehadiran agama Islam. Hal itu dikarenakan sikap fanatisme yang mengakar untuk mempertahankan esensi kabilah-kabilah. Penolakan masyarakat Makkah dapat di lihat dari penindasan-penindasan yang dilakukan kaum kafir Quraisy terhadap Nabi Muhammad dan  pengikutnya. Peristiwa tersebut menjadikan umat Islam merasa pesimis akan diterima oleh kabilah-kabilah yang ada, apalagi dengan ditolaknya seruan Nabi Muhammad oleh kabilah Thaqif dari Ta’if,  disusul dengan penolakan-penolakan yang dilakukan oleh kabilah-kabilah Kinda, Kalb, Banu ‘Amir dan Banu Hanifa.

Sejarah perkembangan Islam mencatat, bahwa Islam tumbuh berkembang pesat di wilayah Yatsrib. Wilayah ini dihuni oleh beberapa kabilah diantaranya, kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi. Perkembangan Islam di Yatsrib dipengaruhi oleh adanya pertentangan perebutan kedaulatan dan kekuasaan antara kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi. Selain itu, perkembangan Islam juga didukung oleh adanya keyakinan pada tubuh kaum Yahudi dengan aliran monotheismenya yang mencelah para penyembah berhala dan berkeyakinan bahwa akan datang suatu saat seorang Nabi yang akan mendukung mereka (Yahudi) dengan memberantas para penyembah berhala. Dari peristiwa-peristiwa lalu dapat kita ambil kesimpulan bahwa agama islam juga mempunyai kaitan yang erat dengan aspek politik. Sesuai dengan yang telah dipaparkan oleh Harun Nusution dalam bukunya bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam adalah prsoalan politik.

Langkah politik Nabi Muhammad untuk mencari dukungan dari penduduk Yatsrib pertama kali nampak pada peristiwa Ikrar Aqabah, peristiwa tersebut menandai akan adanya kebebasan menyebarkan agama  Islam sehingga secara otomatis akan berdampak pada kekuatan Islam. Hal itu bisa kita lihat dari sikap kaum kafir Qurasy yang terus-menerus menyelidiki para pengikut Ikrar Aqabah untuk diperlakukan secara tidak manusiawi. Peristiwa itu terjadi karena kehawatiran kaum Qurasy akan munculnya kekuatan baru pada tubuh umat Islam sehingga akan mengganggu eksistensi kekuasaan kaum kafir Qurasy. Setelah peristiwa Ikrar Aqabah, Nabi Muhammad kembali memikirkan langkah politik selanjutnya dengan mengizinkan para pengikutnya melakukan hijrah ke Yatsrib, sementara beliau memilih berdomisi di Makkah mencari masa-masa tenang sekaligus menunggu perintah dari Allah. Para pakar berpendapat bahwa gerakan politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad merupakan langkah yang cerdas, penuh perhitungan, terbukti dengan keberhasilan Nabi Muhammad dan para pengikutnya dalam melakukan perintah hijrah.

Para peneliti sejarah politik ada yang mengkategorikan bahwa corak politik yang diterapkan oleh nabi Muhammad adalah bercorak teo-demokratis, yaitu suatu pola pemerintahan yang dalam setiap menyelesaikan persoalan terlebih dahulu melakukan musyawarah baru kemudian menunggu ketetapan dari tuhan.[17] 

Kehidupan Yatsrib (kemudian terkenal dengan sebutan Madinah) pada masa Nabi Muhammad menjadi batu pijakan utama dalam mencatat sejarah perpolitikan umat Islam. Para pakar sejarah berpendapat bahwa politik Islam dalam konteks negara, pertama kali muncul dan berkembang di Madinah. Perpolitikan Islam di Madiah terbentuk secara prural dengan kolaborasi dari berbagai kalangan dan aliran, antara umat Islam, kaum Yahudi, para penyembah berhala (kabilah Aus dan Khazraj). Secara garis besar, suasana politik pada waktu itu dipengarui oleh dua imperium besar yaitu Romawi dan Persia.

Langkah politik Nabi pertama kali adalah menyatukan kaum muslimin muhajirin dan ansor.Langkah ini bisa dikatakan cukup cerdas, karena untuk membentuk kekuatan komunitas, syarat utama yang harus dipenuhi solidaritas antar penduduk.Kemudian Nabi membentuk sebuah nota kesepakatan antara penduduk Madinah secara umum yang tercatat sebagai piagam Madinah. Piagam ini merupakan dokumen politik yang telah ditinggalkan oleh Nabi Muhammad selama kurun waktu seribu empat ratus dua puluh lima tahun lamanya. Piagam ini pulalah yang telah menetapkan adanya kebebasan beragama, menyatakan pendapat, berserikat, dan pelarangan akan tindak kejahatan. Dengan piagam itu, kota Madinah menjadi tempat yang memiliki peradapan tinggi karena benar-benar telah menghormati seluruh penduduk yang berdomosili di dalamnya. Madinah yang semula dipenuhi dengan tindak kejahatan, kekerasan dan peperangan menjadi kota yang menjunjung tinggi hak dan egaliter.   Menurut al-Sayyid Muhammad Ma’ruf  al-Dawalibi seorang pengajar di universitas Paris mengatakan bahwa yang paling menakjubkan tentang piagam Madinah adalah memuat tentang prinsip-prinsip perpolitikan umat Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Para sejarawan berselisih pendapat dalam menentukan ketokohan Nabi Muhammad dalam menjalankan roda perpolitikan di kota Madinah. Hal itu disebakan adanya perbedaan pemahaman akan tugas seorang nabi. Apakah sikap politik yang diambil oleh Nabi Muhammad sebagai aplikasi dari perintah yang berupa wahyu atau merupakan hasil dari ijtihat sebagai seorang pemimpin atau hakim sebagai jawaban dari kebutuhan dan situasi masyarakat? Perbedaan pandangan dalam menafsirkan tugas-tugas kenabian dalam bidang politik menyebabkan perdepatan yang tak kunjung usai. Apakah Islam memiliki sistem politik, apakah Islam merupakan agama yang menjunjung demokrasi? Kalau kita mau jujur untuk kembali membuka lembaran-lembaran sejarah, maka kita akan menemukan berbagai peristiwa yang bersifat duniawi seperti; politik, ekonomi dan sebagainya, berawal dari problema masyarakat masa Nabi, kemudian wahyu datang sebagai upaya penyelesaian akan kebutuhan masyarakat. Berbeda dengan unsur akidah yang secara langsung turun dari langit tanpa melihat pada kondisi masyarakat. Terlebih, sepeninggal nabi Muhammad, umat Islam tidak memiliki sistem tatanan sosial politik yang baku sehingga peristiwa perebutan kekuasaan untuk menggantikan posisi nabi Muhammad sebagai pimpinan menyebabkan umat Islam terbelah menjadi berbagai golongan. Demikan halnya dengan persoalan demokrasi, kalau kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang mengedepankan asas musyawarah mufakat, maka Islam adalah agama yang paling demokrasi. Namun, jika kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka Islam bukan agama demokrasi karena secara hukum syari’ah Islam berasal dari Tuhan untuk kemaslahatan manusia. Pada masa khalifah al-Rasyidin, sistem politik umat Islam berbentuk khilafah, dengan proses pemilihan pemimpin melalui jalur musyawarah mufakat atau melalui sistem perwakilan. Atau oleh peneliti sejarah politik bentuk pemerintahan pada masa ini bercorak aristokrat demokratik.[18]     

Setelah Nabi Muhammad wafat,  Abu Bakar al-Shiddiq sebagai pemimpin (khalifah) umat Islam pengganti Nabi Muhammad. Pidato kenegaraan yang dilontarkan Abu Bakar al-Siddiq merupakan statemen politik yang maju dengan menggunakan prinsip-prinsip modern yang partisipatif dan egaliter. Khotbah itu merupakan khotbah pertama yang menerangkan sistem pemerintahan Islam . Abu Bakar  merupakan khalifah yang mampu menyelesaikan pertikayan-pertikayan yang terjadi ditubuh umat Islam. Perbedaan-perbedaan yang muncul cenderung mengarah pada unsur politik bukan pada unsur agama. Salah satu gerakan politik Abu Bakar al-Siddiq adalah memerangi orang-orang yang ingkar zakat atau lebih dikenal denganhurûb al-riddah. Sosio politik umat Islam pada masa Abu Bakar al-Siddiq berjalan stabil. Prinsip-prinsip perpolitikan dalam membentuk sebuah khilafah yang digunakan berpedoman pada ajaran-ajaran agama Islam berupa al-Qur’an dan Hadis. Keberanian Abu Bakar mengambil kebijakan-kebijakan tidak populer menjadikan ia sebagai khalifah yang tangguh dan berwibawa. Perlawanan dan pertentang dalam pengankatan Abu Bakar sebagai khalifah, menjadikan khalifah bertindak preventif dalam memilih khalifah ke dua. Sebelum Abu Bakar wafat, Umar ibn Khattab terpilih secara aklamasi sebagai khalifah Islam ke dua.

Persoalan yang terjadi pada masa khalifah Umar ibn Khatthab cenderung mengarah pada persoalan politik luar, pada masa tersebut, umat Islam melakukan ekspansi perluasan daerah. salah satu contoh dengan diutusnya Amr ibn Ash untuk memimpin pembukaan kota Mesir. Sementara dalam tubuh umat Islam sendiri cenderung setabil, hal itu didukung oleh keberanian dan kewibawaan yang dimiliki oleh Umar ibn Khathab. Demikian kemudian khalifah yang mengganikan Rasul dalam menjalankan pemerintahan berpedoman kepada sistim politik yang berdasarkan Alquran dan Hadist Rasul.   Masa perpolitikan umat Islam dalam ranah khilafah berakhir pada masa khalifah Ali ibn Thalib. Masa khilafah merupakan pengalaman perpolitikan umat Islam yang mampu mengenal perbedaan terkecil antara gagasan dan realita.   

Masa kepemimpinan Mu’awiyah merupakan starting point perubahan sistem perpolitikan umat Islam dari sistem khilafah menuju sistem daulah. Dalam sejarah tercatat bahwa Mu’awiyah dengan kreasi politiknya mampu menanggulangi suasana ricuh dalam tubuh umat Islam. Keberanian Mu’awiyah merubah sistem perpolitikan khilafah dengan sistem daulah telah menyatukan kembali umat Islam yang bertikai sehingga terkenal dengan masa ‘âmul jamâ’ah (tahun rekonsiliasi). Mu’awiyah merubah pola perpolitikan umat Islam dengan membangun infra struktural pemerintah seperti kantor-kantor. Sosio perpolitikan umat Islam di masa dinasti Umawiyah dihiyasi oleh berbagai pertempuran ideologi antara ahlul hadis, theolog, filosof dan sebagainya. Para tokoh berusaha untuk memperoleh dukungan dari para penguasa sehingga ideologi yang diajarkan bisa dengan muda diterima oleh masyarakat. Pada masa dinasti Umawiyah, perkonomian umat Islam maju dengan pesat terbukti dengan adanya mata uang khusus yang disahkan oleh dinasti Umawiyah sebagai alat transaksi jual beli. Pergantian pimpinan pada masa ini berdasarkan pada garis keturunan, sehingga jauh berbeda bila dibandingkan dengan masa khilafah. Dinasti ini bertahan dari tahun 661-750 M. Setelah dinasti Umawiyah runtuh, dinasti Abbasiah muncul dengan pola dan sistem politik yang sama.

C.    Politik Dan Konsep Negara Hukum Menurut Islam

Menurut teori Islam, dalam mekanisme operasional pemerintahan negara seyogianya mengacu pada prinsip-prinsip syari’ah. Islam sebagai landasan etika dan moral direalisir dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Endang Saifuddin Anshari (1986:167) mengatakan, “Negara adalah organisasi (organ, badan atau alat) bangsa untuk mencapai tujuannya.” Oleh karena itu, bagi setiap Muslim negara adalah alat untuk merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan Allah, kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya. [19]  
Secara konseptual di kalangan ilmuwan dan pemikir politik Islam era klasik, menurut Mumtaz Ahmad dalam bukunya State, Politics,  and Islam, menekankan tiga ciri penting sebuah negara dalam perspektif Islam, yakni adanya masyarakat Muslim (ummah),  hukum Islam (syari’ah), dan kepemimpinan masyarakat    Muslim  (khilafah). Prinsip-prinsip negara dalam Islam tersebut ada  yang berupa prinsip-prinsip dasar yang mengacu pada teks-teks syari’ah yang jelas dan tegas. Selain itu, ada prinsip-prinsip tambahan yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam fikih. Prinsip-prinsip dasar politik  Islam adalah :  
pertama, kedaulatan, yakni kekuasaan itu merupakan amanah.  Kedaulatan yang mutlak dan legal adalah milik Allah. Abu al-A’la al-Maududi menyebutnya dengan “asas pertama dalam teori politik Islam.” Al-Maududi dalam bukunya It’s Meaning and Message (1976: 147-148) menegaskan,”Kepercayaan terhadap keesaan (tauhid) dan kedaulatan Allah adalah landasan dari sistem  sosial dan moral yang dibawa oleh Rasul Allah. Kepercayaan itulah yang merupakan satu-satunya titik awal dari filsafat politik Islam.” Kedaulatan ini terletak di dalam kehendak-Nya seperti yang dapat dipahami dari syari’ah. Syari’ah sebagai sumber dan kedaulatan yang aktual dan konstitusi ideal, tidak boleh dilanggar, sedang masyarakat Muslim, yang diwakili oleh konsensus rakyat (ijma’ al-ummah), memiliki kedaulatan dan hak untuk mengatur diri sendiri.
Kedua, syura dan ijma’. Mengambil keputusan dalam semua urusan kemasyarakatan dilakukan melalui konsensus dan konsultasi dengan semua pihak. Kepemimpinan negara dan pemerintahan harus ditegakkan  berdasarkan persetujuan rakyat melalui pemilihan secara adil, jujur, dan amanah. Pemerintahan atau sebuah otoritas (sulthan) yang ditegakkan dengan cara-cara non-syari’ah tidak dapat ditolerir dan tidak dapat memaksa kepatuhan rakyat.
Ketiga, semua warga negara dijamin  hak-hak pokok tertentu. Menurut Subhi Mahmassani dalam bukunya Arkan Huquq al-Insan,beberapa hak warga negara yang perlu dilindungi adalah: jaminan terhadap keamanan pribadi, harga diri  dan harta benda, kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan pelayanan hukum secara adil tanpa diskriminasi, hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, pelayanan medis dan kesehatan, serta keamanan untuk melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi.
Keempat,  hak-hak negara. Semua warga negara, meskipun yang oposan atau yang bertentangan pendapat dengan pemerintah sekalipun, mesti tunduk  kepada otoritas negara yaitu kepada hukum-hukum dan peraturan negara.
Kelima, hak-hak khusus dan batasan-batasan bagi warga negara yang non-Muslim—memiliki hak-hak sipil yang sama. Karena negara ketika itu adalah negara ideologis, maka tokoh-tokoh pengambilan keputusan yang memiliki posisi kepemimpinan dan otoritas (ulu al-amr), mereka harus sanggup menjunjung tinggi syari’ah. Dalam sejarah politik Islam, prinsip  dan kerangka  kerja konstitusional pemerintahan seperti ini, terungkap dalam Konstitusi Madinah atau “Piagam Madinah” pada era kepemimpinan Rasulullah di Madinah, yang mengayomi masyarakat yang plural.
Keenam, ikhtilaf  dan konsensus yang menentukan. Perbedaan-perbedaan pendapat diselesaikan berdasarkan keputusan dari suara mayoritas yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat. Prinsip mengambil keputusan menurut suara mayoritas ini sangat penting untuk mencapai tujuan bersama.

Selain prinsip-prinsip dasar negara yang konstitusinya  berdasar syari’ah, ada juga prinsip-prinsip tambahan (subsider) yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam bidang fikih siyasah (hukum ketatanegaraan dalam Islam). Prinsip-prinsip tambahan tersebut  adalah mengenai pembagian fungsi-fungsi pemerintahan yaitu hubungan antara Badan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dalam hubungan ketiga badan (lembaga negara) tersebut prinsip-prinsip berkonsultasi (syura) mesti dilaksanakan di dalam riset, perencanaan, menciptakan undang-undang dan menjaga nilai-nilai syari’ah dengan memperhatikan otoritas (kewenangan) yang dimiliki masing-masing lembaga tersebut.


D.    Perkembangan Politik Hukum Islam Di Indonesia  

 Fikrah umat Islam dalam bidang hukum dengan kewajiban bertahkim kepada syariat Islam, secara sosiologis dan kultural tidak pernah mati dan selalu hadir dalam kehidupan umat dalam system politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang, maupun masa kemerdekaan dan pembangunan dewasa ini. Berkat kerja sama antar semua umat Islam dan kejelian pemerintah membaca aspirasi umat Islam dalam rangka pembangunan hukum nasional, maka hukum Islam yang melekat dan hidup pada masyarakat dilembagakan dalam sistem hukum nasional, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan keluarga muslim. Hukum yang hidup kemudian menjadi hukum positif. Eksistensi hukum Islam diakui oleh negara.  

Berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan di balik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun demikian, hukum Islam telah menga1ami perkembangan secara berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu.

Transformasi hukum Islam ke dalam supremasi hukum nasional, tak terlepas dari partisipasi semua pihak dan lembaga terkait, seperti halnya hubungan hukum Islam dengan badan kekuasaan negara yang mengacu kepada kebijakan politik hukum yang ditetapkan (adatrechts politiek). Politik hukum tersebut merupakan produk interaksi kalangan elite politik yang berbasis kepada berbagai kelompok sosial budaya. Ketika elite politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik itu, maka peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin besar. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelumnya telah terjadi silang pendapat perihal ideologi yang hendak dianut oleh Negara Indonesia. Gagasan Prof. Dr. Soepomo tentang falsafah negara integralistik dalam sidang BPUPKI tanggal 13 Mei 1945 telah membuka wacana pluralisme masyarakat Indonesia untuk memilih salah satu di antara tiga faham yang ia ajukan, yaitu; (1) Faham Individualisme: 2) Faham Kolektifisme; dan (3) Faham Integralistik. Dalam sejarah Indonesia, para politisi menghendaki faham integralistik sebagai ideologi negara dan Pancasila dan UUD 1945 kemudian disepakati sebagai landasan idiil dan landasan struktural Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasiya secara hukum setiap bentuk perundang-undangan diharuskan lebih inklusif dan harus mengakomodasikan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Inilah yang pada gilirannya akan melahirkan konflik ideologis antara Islam dan negara.

Masa Orde Baru seperti termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) yaitu Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak 1973, 1978, 1983, 1988 dan 1993. Kurun waktu 1973-1988 pengembangan hukum nasional diarahkan bagi kodifikasi dan unifikasi hukum sesuai kepentingan masyarakat. Bentuk hukum tertulis tertentu dikodifikasikan dan diunifikasikan, terutama hukum yang bersifat ‚netral? yang berfungsi bagi rekayasa sosial. Demikian halnya bagi orang Islam, unifikasi hukum Islam memperoleh pengakuan dalam sistem hukum nasional.[20]

Transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun) merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh, diundangkannya UU No.1/1974 tentang Perkawinan, peranan elite Islam cukup dominan dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elite di tingkat legislatif, sehingga RUU Perkawinan No.1/1974 dapat dikodifikasikan. Adapun prosedur pengambilan keputusan politik di tingkat legislatif dan eksekutif dalam hal legislasi hukum Islam (legal drafting) hendaknva mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan negara secara kolektif.  Namun masa Orde Baru yang menerapkan kebijakan modernisasi, di mana stigma perkembangan pola pikir dan cara pandang bangsa Indonesia serta proses transformasi kultural dan perubahan sosial lebih banyak mengadopsi apa yang pernah terjadi di negara-negara Barat, telah menimbulkandilema bagi elite Islam, karena Kiblat pembangunan di Indonesia yang sebelumnya mengarah ke Eropa Timur berbalik arah ke Eropa Barat dan Amenka. Banyak didapatkan kalangan cendekiawan dan kalangan intelektual mulai akrab dengan pemikiran-pemikiran Barat. Kalangan Islam memandang modernisasi ibarat dilema karena dihadapkan kepada dua pilihan, yakni apabila mendukung modernisasi ala Orde Baru berarti sama saja mendukung Barat, sedangkan pada sisi lain, apabila menolak berarti umat Islam akan kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam program pembangunan nasional. Sikap pro-kontra di kalangan mayoritas umat Islam dalam menanggapi modernisasi melahirkan tiga pola berikut: Pertama, pola apologi, yakni suatu bentuk sikap penolakan kalangan Islam terhadap segala nilai-nilai yang berakar pada wacana modernisasi. Bahkan pola pertama ini berasumsi bahwa modernisasi identik dengan westernisasi dan sekularisasi; Kedua, pola adaptif, yakni suatu bentuk sikap menerima sebagian nilai-nilai modernisasi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam; Ketiga, pola kreatif, yakni suatu bentuk sikap dialogis yang lebih mengutamakan pendekatan intelektual dalam menanggapi modernisasi. Dan ketiga pola tersebut, tampaknya pola ketiga menjadi lebih dominan karena pendekatan intelektual yang dikembangkan kalangan modernis dipandang lebih representatif untuk membangun tatanan Islam modern di Indonesia. Hal ini sebagai antitesa dari kalangan Islam konservatif  yang lebih mengarah kepada upaya ideologisasi dan depolitisasi Islam secara formal yang mengakibatkan lahirnnya ketegangan dengan rezim Orde Baru.[21]

Pola pertautan politik yang serba provokatif dianggap bukan jalan terbaik bagi islamisasi di Indonesia, mengingat penduduk Indonesia tidak seluruhnya umat Islam yang dapat disatukan dalam bingkai sistem politik keormasan. Pada gilirannya, lahirlah gagasan Islam kultural sebagai jalan tengah bagi umat Islam untuk tetap memainkan perannya daam pentas politik nasional Paling tidak, kebenaran akan pendekatan ini mulai membuahkan hasil berupa terbukanya jalan bagi umat Islam menuju islamisasi politik Orde Baru di penghujung tahun 1970-an.[22]  

Kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan Islam dalam posisi marjinal di pentas politik nasional pada gilirannya telah melahirkan berbagai ketegangan antara Islam dan negara. Sejarah telah mencatat hahwa dinamika hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru mengalami pergeseran yang bersifat antagonistik, resiprokal kritis sampai akomodatif. Hubungan antagonistik (1966-1981) mencerminkan pola hubungan yang hegemonik antara Islam dengan pemerintah Orde Baru. Keadaan negara yang kuat memainkan pengaruh ideologi politik sampai ke tingkat masyarakat bawah telah berlawanan dengan sikap reaktif kalangan Islam sehingga melahirkan konflik ideologi dan sekaligus menempatkan Islam sebagai oposisi.
Kemudian pada tahap hubungan resiprokal kritis (1982- 1985) kaum santri berupaya merefleksikan kembali cara pandang mereka dan merubah dirinya untuk menampilkan sisi intelektualitas dalam percaturan politik Indonesia. Pada tahap ini pilihan-pilihan rasional-pragmatis telah melahirkan saling pengertian akan kepentingan Islam dan pemerintahan Orde Baru. Dalam kurun waktu 1982-1985 sebagian kalangan Islam mulai menerima asas tunggal dalam landasan ideologi negara serta ormas dan orpol. Sedangkan hubungan akomodatif (1985-2000) hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di mana umat Islam telah masuk sebagai bagian dan sistem politik elit dan birokrasi, Pola hubungan akomodatif ini sangat terasa berupa tersalurkannya aspirasi umat Islam untuk membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur agama (Islam) serta budaya bangsa yang dibingkai dalam falsafah integralistik Pancasila dan UUD 1945. [23] Tersendat-sendatnya aspirasi umat Islam di dalam mendapatkan hak-hak perundang-undangan dan hukum tampak ketika dilegislasikannya UU No.1/1974 tentang Perkawinan yang kemudian disusul dengan PP No.9/1975. Selanjutnya ditetapkan pula ketentuan tentang Wakaf dalam PP No.28/1977. Tidak berhenti sampai di situ, umat Islam di tingkat legislatif kembali mempersoalkan faham/aliran kepercayaan dalam UUD 1945 sebagai agama resmi yang diakui negara. Dan yang paling krusial adalah kehendak umat Islam untuk dilegislasikannya Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUUPA) bagi penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia.[24]

Pada pola hubungan resiprokal kritis, umat Islam menyadari perlunya strategi untuk menempuh jalur struktural-birokrat pada sistem kenegaraan. Pada tahapan ini, kalangan cendekiawan dan politisi Islam harus berani bersentuhan langsung dengan pemerintahan Orde Baru. Melalui pendekatan strukturai-fungsional, umat Islam relatif mengalami kemajuan pesat berupa masuknya kalangan Islam dalam segala sistem pemerintahan sipil mulai dari pusat hingga daerah, dan sekaligus memperkokoh kekuasaan Orde Baru dalam bingkai akumulasi sipil Islam dan militer. Pada pola akomodatif, sebagai antitesa dan pola hubungan sebelumnya Islam hampir menguasai seluruh sendi-sendi pemerintahan dan negara. Tercatat realitas sosial politik umat Islam demikian penting memainkan peranannya di pentas nasional. Kehadiran ICMI, 8 Desember 1990, diyakini sebagai tonggak baru menguatnya islamisasi politik di Indonesia, dan semakin tampak ketika diakomodirnya kepentingan syari’at Islam melalui UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama, sekaligus menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara yang diatur dalam UU No.14/1970 tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman, disusul dengan UU No.10/1998 tentang Perbankan (pengganti UU No.7/1992), UU No.38/ 1999, tentang Zakat, Inpres No.1/1991.tentang Penyebarluasan KHI. Artikulasi dan partisipasi politik kalangan umat Islam demikian tampak mulai dari pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis sampai pendekatan akomodatif.  

Kodifikasi dan unifikasi hukum Islam serta penyusunan rancangan perundang-undangan yang baru diarahkan untuk terjaminnya kepastian hukum (law enforcement) di masyarakat. Terhitung sejak tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan proses transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik di Indonesia. Tiga fase hubungan antara Islam dan negara pada masa Orde Baru yakni fase antagonistik yang bernuansa konflik, fase resiprokal kritis yang bernuansa strukturalisasi Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa harmonisasi Islam dan negara, telah membuka kemungkinan pembentukan peraturan perundangan yang bernuansa hukum Islam. Sampai saat ini, kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia semakin memperoleh pengakuan yuridis. Pengakuan berlakunya hukum Islam dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berimplikasi kepada adanya pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum. Salah satunya adalah diundangkannya Undang Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan.

Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mi mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila); Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam Pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal. Implementasi dan tiga alasan di atas, sebagai contoh adalah ditetapkannya UUPA No.7/1989 yang secara yuridis terkait dengan peraturan dan perundang-undangan lainnya, seperti UU No.2/1946 Jo, UU No.32/1954, UU Darurat No.1/1951, UU Pokok Agraria No.5/1960, UU No.14/1970, UU No.1/1974, UU No.14/1985, Perpu Nol/SD 1946 dan No.5/SD 1946, PP. No.10/1947 Jo. PP. No.19/1947, PP. No.9/1975, PP. No.28/1977, PP. No.10/1983 Jo, PP. No.45/1990 dan PP. No. 33/1994. Penataan Peradilan Agama terkait pula dengan UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum, UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan UU No.7/1989 tantang Dradi1an Agama.

Dari sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama. Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an UUPA No.7/1980 dapat disahkan sehagai undang-undang. Keberadaan UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata.  

Sejalan dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi di awal :ahun 1980-an sampai sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan pengernbangan hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Pendekatan struktural dan harmoni dalam proses islamisasi pranata sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar bagi upaya transformasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Tinggal bagaimana posisi politik umat Islam tidak redup dan kehilangan arah, agar ia tetap eksis dan memainkan peran lebih besar dalam membesarkan dan kemajukan Indonesia baru yang adil dan sejahtera.


BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
                               I.            hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum cenderung mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum.
                            II.            Politik hukum  Islam dalam perspektif sejarah hukum mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara bertahap dalam 7 (tujuh) periode masa keemasan pemerintahan Islam. Diawali dengan pembentukan pemerintahan Islam oleh Raullulah di Medinah yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasullulah, yang berhasil menyatukan masyarakat Madinah yang heterogen, terdiri dari masyarakat Yahudi, Kristen dan Islam  dan mencapai kegemilangan pada periode ke empat, yakni pada Pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H, karena fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat; Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali,  yang kemudian dikodifikasikan oleh  pemerintahan Turki Osmani, yang menjadi sumber hukum Islam bagi umat Islam seluruh dunia sampai sekarang.
                         III.            Dari sudut pandang Islam, politik adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam oleh pemimpin pemerintahan negara (khalifah). Bagi setiap Muslim negara adalah alat untuk merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan Allah, kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya. Oleh karena itu dalam mekanisme operasional pemerintahan negara seyogianya mengacu pada prinsip-prinsip syari’ah. Islam sebagai landasan etika dan moral direalisir dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
                         IV.            Di Indonesia dengan mayoritas masyarakat beragama Islam, ajaran Islam telah berakar pada kekuatan sosial budaya, namun perkembangan   politik hukum Islam telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara, karena itu diperlukan pendekatan strategis-politis secara berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu, sehingga kemudian  mendapat respon yang baik dari pemerintah dalam transpormasi hukum Islam sebagai hukum positif Indonesia yang ditandai dengan diundangkannya Undang Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan.
                            V.            Keberhasilan politik hukum Islam yang paling fenomenal dalam mengimpikasikan hukum Islam kedalam hukum Nasional  adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata.  
                         VI.             Sampai saat ini, kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia semakin memperoleh pengakuan yuridis. Pengakuan berlakunya hukum Islam dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berimplikasi kepada adanya pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum dalam berbagai peraturan perundang-undangan.  
                      VII.            Bahwa hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa dukungan politik sulit digali dan diterapkan, sebaliknya politik yang mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Semakin baik hubungan Islam dan politik semakin besar peluang hukum Islam diaktualisasikan, dan semakin renggang hubungan Islam dan politik, semakin kecil peluang hukum Islam diterapkan.


A.    Saran – Saran
                               I.            Politik hukum Islam dalam perspektif sejarah hukum penting dipelajari oleh umat Islam untuk mempelajari hukum Islam.
                            II.            Makalah ini jauh dari sempurna dan mungkin terdapat kekeliruan, untuk itu penulis mohon kritikan dalam bentuk penyempurnaan.
DAFTAR PERPUSTAKAAN

1.       Soehino, Politik Hukum, (BPFE Yogyakarta. 2010).
2.       Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Asas Umum Hukum Pidana, (Liberty, Yogyakarta, 1988).
3.       Sadjipto Rahardjo, Hukum Dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis Dan Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia, (Alumni, Bandung, 19
4.       Jhon Rawls, A Theory of Justice (Teori Keadilan), Dasar Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahterahan Sosial Dalam Negara, Pustaka Pelajar, 2006.
5.       H. L A. Hart, The Concept of Law (Konsep Hukum), Nusamedia.
6.       Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta.
7.       A.Gunawan Satiardja, 1990, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius-BPK Gunung Mulia, Yogya-Jakarta.
8.       Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1993, Perihal Kaedah Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
9.       Rusli Effendy dkk, Teori Hukum, Hasanuddin University Press, Ujungpandang. 1991.
10.    Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
11.    Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, cetakan kedua , Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006
12.    Darmodiharjo, dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cetakan keenam,Mei 2006.
  1. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta cetakan keenam belas, 2003.
  2. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arief sidharta, Citra Aditya bakti, cetakan kedua, 1999 .
15.    Bertens.Dr.K. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, 1975.
16.    Bochenski, J.M.Contemporary European Philosophy, translated bay D. Nichol and K. Aschenbrenner, London and Berkeley, 1956.
17.    Collins,J.A .History of Modern Eurapean Philosophy, Milwaukee, 1954.
18.    Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.




[1] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op, cit,.
[2] http://mora-harian.blogspot.com/2010/05/pengertian-atau-sejarah-hukum.html
[3] Ringkasan Sejarah Hukum dari Buku Karya John Gillesen dan First Gorle, http://www.scribd.com/doc/32466723/SEJARAH-HUKUM

[4] Ibid.
[5] Tri Wong Suloyo, Pengertian Politik Hukum, http://www.scribd.com/doc/91782244/Pengertian-Politik-Hukum#

[7] http://kibaw90.wordpress.com/2010/05/12/85
[8] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hal 1
[9] Ibid.
[10] Hudhari Bik Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islam yang dialih bahasakan oleh Drs. Mohammad Zuhri Sejarah Pembinaan Hukum Islam. Hal 12.

[11] Prof. T.M. Hasbi As-Shiddieqiy. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, hal 53.
[12] Hudhari Bik Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islam yang dialih bahasakan oleh Drs. Mohammad Zuhri Sejarah Pembinaan Hukum Islam, hal 341.
[13] Asy-Syahrasytany. Al-Milal wan Nihal, hal 346.
[14] Ibn Khaldun, Filsafat Islam Tentang Sejarah,(terj.) Charles Issawi, dari judul asli an Arab Philosophy of History, (Jakarta: Tintamas, 1976), cet.II, hlm. 180.
[15] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid II, (Jakarta: UI Press, 1979), cet. I, hlm. 92.
[16] Lihat QS Syura, 42: 28; QS Al-Nahl, 16: 90; QS Al-Hasyr, 59:7.
[17] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2010), cet I, hlm. 318.

[18]  Ibid, hlm. 318
[19] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op, cit,.
[20] Teuku Mohammad Radhie, ‚Politik dan Pembaharuan Hukum?, dalam Prisma No. 6 tahun II (Jakarta: LP3ES, 1973), hlm. 4.
[21] M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 38 1-382.
[22] Ibid.
[23] Ibid., hlm. 238-239
[24] Ahmad Sukarja, ‚Keberiakuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia? dalam Cik Hasan Bisri (ed.) Bunga Rampai Peradilan Islam I, (Bandung: Ulul Albab Press, 1997), hlm. 24-25

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Pengikut

Wikipedia

Hasil penelusuran