=
Makalah =
POLITIK HUKUM ISLAM
DITINJAU DALAM PERSPEKTIF
SEJARAH HUKUM
Disusun
Oleh : Marni Malay, SH.
Dosen : Prof. Dr. Hamdan Zoelva,
SH. MH.
Program Pasca Sarjana Magister Ilmu
Hukum
JAKARTA
- INDONESIA
2012
ABASTRAK
Politik hukum adalah
menyangkut hukum kebijakan hukum yang dimbil
oleh penguasa negara yang
berwenang untuk mewujudkan tujuan negara yang akan
mempengaruhi masyarakat negara yang bersangkutan, yang
mendambakan kehidupan yang tertib, aman, damai, sejahtera lahir bathin, karena
mana hukum
yang diharapkan adalah hukum yang adil dan dapat memberikan kesejahteraan bagi
msyarakat, hukum yang bukan merupakan paksaan dari penguasa melainkan sesuai
dengan kehendak warganegara.
Dari sudut pandang Islam, politik adalah
pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar
negeri berdasarkan hukum-hukum Islam oleh pemimpin pemerintahan negara
(khalifah). Bagi setiap Muslim negara adalah alat untuk merealisasikan
kedudukannya sebagai abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai
khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan Allah, kesejahteraan duniawi dan
ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya. Oleh karena itu dalam
mekanisme operasional pemerintahan negara seyogianya mengacu pada
prinsip-prinsip syari’ah. Islam sebagai landasan etika dan moral direalisir
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di Indonesia dengan mayoritas masyarakat beragama Islam, ajaran Islam telah berakar pada
kekuatan sosial budaya, namun perkembangan politik hukum Islam telah
mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh
kekuasaan negara, sehingga diperlukan pendekatan strategis-politis secara
berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur
politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu.
Bahwa hukum Islam dan politik adalah dua
sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa
dukungan politik sulit digali dan diterapkan, sebaliknya politik yang mengabaikan
hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Semakin baik
hubungan Islam dan politik semakin besar peluang hukum Islam diaktualisasikan,
dan semakin renggang hubungan Islam dan politik, semakin kecil peluang hukum
Islam diterapkan.
ABSTRACT
Political law is the law regarding legal policy taked by the competent
state authorities to realize the goal of which will affect the state of the
country concerned , who crave life orderly, safe, peaceful, prosperous and
mentally, for which the expected law is the law fair and can provide welfare
for msyarakat, which is not a legal compulsion of authority but rather in accordance
with the will of citizens.
From the point of view of political Islam is setting affairs (interests)
both people inside the country and abroad based on Islamic laws by state
government leaders ( caliphs ). For every Muslim country is a tool to realize
his position as a servant of God and actualize its function as vicegerent of
Allah, to attain the pleasure of Allah, and hereafter worldly prosperity, as
well as being a mercy to our fellow human beings and the natural environment.
Therefore the state government operation mechanism should refer to the
principles of Shari'ah. Islam as the foundation of ethics and morals are
realized in the life of society, nation and state.
In Indonesia with a majority Muslim society, Islam has its roots in socio-
cultural forces, but political developments of Islamic law has ebbed and flowed
along with the applicable law by the political power of the state, so the
political - strategic approach is required on an ongoing basis, either through
political infrastructure and political superstructure to support the
socio-cultural forces.
That Islamic law and politics are two sides that can not be separated in an
Islamic society. Islamic law without political support is difficult explored
and implemented, otherwise ignore the political Islamic law will lead to chaos
in society. The better the relationship between Islam and politics Islamic law
the greater the chance actualized , and the tenuous relationship between Islam
and politics, the smaller the chances of Islamic law is applied.
KATA
PENGANTAR
Alhamdullilah,
Makalah yang berjudul, “ POLITIK HUKUM ISLAM DITINJAU DALAM PERSPEKTIF SEJARAH HUKUM
“, ini dapat Penulis
selesaikan untuk memenuhi tugas dalam Mata Kuliah Sejarah Hukum pada Semester I Program Pasca
Sarjana Magister Ilmu Hukum di Universitas Islam As-Syafiiyah.
Penulis menghaturkan terima kasih
kepada Bapak Prof. Dr. Hamdan Zoelva, SH. MH., Dosen Mata Kuliah Sejarah Hukum, atas bimbingan dan ilmu yang
telah diberikan selama Penulis menyusun makalah ini.
Penulis telah berusaha untuk
menyelesaikan penulisan makalah ini dengan sebaik baiknya sesuai dengan
kemampuan dan ilmu yang dimiliki, namun Penulis menyadari, “ Tak ada gading
yang tak retak ”, oleh karena itu Penulis mengharapkan dan akan sangat
berterima kasih terhadap pembaca yang berkenan memberikan saran dan
kritik untuk kesempurnaan makalah ini.
Jakarta, 30 Juni 2012
Wassalam,
Penulis.
Marni Malay, SH.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain
ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara, siapa pelaksana
kekuasaan tersebut, apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada
siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelaksanaan
kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya. Bahwa politik suatu negara akan
mempengaruhi masyarakat, yang mendambakan kehidupan yang tertib, aman, damai,
sejahtera lahir batin, yang tidak bisa dilepaskan dari system politik yang
diterapkan di negara yang bersangkutan.
Sedangkan politik hukum adalah menyangkut
kebijakan hukum yang dimbil oleh penguasa Negara yang
berwenang untuk mewujudkan tujuan Negara. Menurut paham
filsafat idealisme Plato dan Aristoteles, hukum yang diharapkan adalah hukum
yang adil dan dapat memberikan kesejahteraan bagi msyarakat, hukum yang bukan
merupakan paksaan dari penguasa melainkan sesuai dengan kehendak warga Negara,
dan untuk mengatur hukum itu dibutuhkan konstitusi yang memuat aturan-aturan
dalam hidup bernegara.
Dari sudut pandang Islam politik adalah
pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar
negeri berdasarkan hukum-hukum Islam oleh pemimpin pemerintahan negara
(khalifah), sebagai mana sabda Rasullulah :
“Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur
urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan
sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak”(HR
Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa
Khalifahlah yang mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah Nabi,
dan esensi politik Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan
kepada hukum-hukum Islam. Bahwa menurut teori Islam,
dalam mekanisme operasional pemerintahan negara seyogianya mengacu pada
prinsip-prinsip syari’ah. Islam sebagai landasan etika dan moral direalisir
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu hukum Islam dan politik adalah dua
sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa
dukungan politik sulit digali dan diterapkan, sebaliknya politik yang mengabaikan
hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Semakin baik
hubungan Islam dan politik semakin besar peluang hukum Islam diaktualisasikan,
dan semakin renggang hubungan Islam dan politik, semakin kecil peluang hukum
Islam diterapkan. Hubungan antara politik dan Islam secara tepat
digambarkan oleh Imam al-Ghazali:
“Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas)
dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya
akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan
lenyap”.
Endang Saifuddin Anshari (1986:167) mengatakan,
“Negara adalah organisasi (organ, badan atau alat) bangsa untuk mencapai
tujuannya.” Oleh karena itu, bagi setiap Muslim negara adalah alat untuk
merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya
sebagai khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan Allah, kesejahteraan duniawi
dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya.
Di Indenesia dengan masyarakat muslim mayoritas, berlakunya hukum
Islam telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan
oleh kekuasaan negara. Bahwa hukum Islam yang
telah berakar pada
kekuatan sosial budaya masyarakat yang beragam
Islam, di mana hukum Islam telah menga1ami perkembangan secara
berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur
politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu.
Makalah ini akan memaparkan Poltik
Hukum Islam Dalam perspektif
Sejarah
Hukum,
yaitu tentang bagaimana
politik
hukum Islam
berkembang dan berubah serta apa yang menyebabkan perkembangan dan
perubahannya, sejalan dengan perkembangan peradaban masyarakat Islam dari zaman ke zaman, dengan
mempelajari ruang lingkup sejarah pembentukan dan perkembangan hukum Islam (Tarikh Tasyri’), serta bagaimana transpormasi politik hukum Islam terhadap penerapan hukum
Islam bagi kepentingan masyarakat Islam di Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Permasalahan
yang akan diangkat dalam makalah ini :
“ Bagaimana pengaruh politik hukum Islam dalam perspektif sejarah hukum
di Indonesia ? “.
C.
Tujuan
Dan Kegunaan Penulisan
1.
Tujuan
Penulisan.
Penulisan makalah ini ditujukan untuk mengetahui :
a.
Mengetahui
tentang politik hukum Islam dan sejarah
pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam terutama dalam penerapan hukum
terhadap masyarakat Indonesia yang beragama Islam.
b.
Mengetahui
dan atau meneliti tentang dasar pemikiran Ajaran Islam tentang politik hukum.
c.
Mengetahui
dan meneliti dasar pembentukan hukum positif di Indonesia dalam hal ini Hukum
Islam serta implementasinya terhadap masyarakat.
2.
Kegunaan
Penulisan.
Penulis berharap makalah ini
akan bermanfaat dan dapat memberikan :
-
Kegunaan
Praktis, adalah keseluruhan data dan informasi yang disajikan dalam bentuk
laporan hasil penulisan,
diharapkan
dapat
memberikan masukan dalam
pembentukan hukum Islam yang
akan ditetapkan menjadi hukum positif.
-
Kegunaan
Teoritis, diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan hukum, politik hukum, dan di implementasikan terhadap penanganan
masalah hukum dalam masyarakat secara
berkeadilan.
D. Methode
Penulisan
Penulisan makalah ini bersifat studi
kepustakaan (library research), di mana data diperoleh berdasarkan melalui buku-buku,
peraturan perundang-undangan, dan laporan,
makalah dan artikel-artikel yang berhubungan dengan pembahasan makalah ini dan
melalui internet.
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. Sejarah Hukum
Sejarah Hukum
yaitu tentang bagaimana hukum berkembang dan berubah serta apa yang menyebabkan
perkembangan dan perubahannya, sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Sejumlah ahli hukum dan pakar
sejarah, sejarah hukum dipandang sebagai catatan mengenai evolusi hukum dan
penjelasan teknis tentang bagaimana hukum
berkembang
dengan pandangan tentang pemahaman yang lebih baik mengenai asal-usul dari
berbagai konsep hukum.
Para
sejarawan abad ke-20 memandang
sejarah hukum dalam cara yang lebih kontekstual, lebih sejalan dengan pemikiran
para sejarawan sosial. Mereka meninjau lembaga-lembaga hukum sebagai sistem
aturan, pelaku dan lambang yang kompleks, dan melihat unsur-unsur ini
berinteraksi dengan masyarakat untuk mengubah, mengadaptasi, menolak atau
memperkenalkan aspek-aspek tertentu dalam masyarakat, mereka cenderung menganalisis sejarah kasus
dari parameter penelitian ilmu sosial, dengan menggunakan metode-metode
statistik, menganalisis perbedaan kelas antara pihak-pihak yang mengadukan
kasusnya, mereka yang mengajukan permohonan, dan para pelaku lainnya dalam
berbagai proses hukum. Dengan menganalisis hasil-hasil kasus, biaya transaksi,
jumlah kasus-kasus yang diselesaikan, mereka telah memulai analisis terhadap
lembaga-lembaga hukum, praktik-praktik, prosedur dan amaran-amarannya yang dapat memberi gambaran yang lebih
kompleks tentang hukum dan masyarakat daripada yang dapat dicapai oleh studi
tentang yurisprudensi, hukum dan aturan sipil.
Hukum adalah
sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan, politik, ekonomi dan masyarakat
dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan
sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana
yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum
menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi
manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka
yang akan dipilih. Hukum dapat dibagi dalam berbagai bidang, antara lain hukum
perdata, hukum publik, hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, hukum
internasional, hukum adat, hukum islam, hukum agraria.
Ilmu sejarah
hukum tergolong pegetahuanyang masih muda dan belum
banyak dikenal bahkan dikalangan pakar hukum sendiri sehingga pertumbuhan
dan perkembangannya belum menggembirakan. Hal ini mungkin sekali disebabkan
oleh belum disadarinya betapa pentingnya disiplin ilmu sejarah hukum dalam menunjang dan memahami
ilmu pengetahuan hukum.
Menurut
John Gillisen dan Frist Gorlé, terdapat manfaat yang besar dalam mempelajari
sejarah hukum, antara lain
:
1.
Hukum tidak hanya berubah dalam ruang
dan letak (Hukum Belgia,Hukum Amerika, Hukum Indonesia, dll), malainkan juga dalam lintasan waktu. Hal ini
berlaku bagi sumber hukum formil,
yakni
bentuk-bentuk penampakan diri norma
hukum,
maupun isi norma
hukum itu sendiri (sumber-sumber hukum materiil).
2.
Norma-norma hukum sering kali hanya dapat dimengerti melalui sejarah hukum.
3. Sedikit
banyak mempunyai pengertian mengenai sejarah hukum, yang merupakan pegangan penting bagi
yuris pemula untuk mengenal
budaya dan pranata hukum.
4. Hal
ikhwal yang teramat penting di sini adalah perlindungan hak asasi manusia terhadap perbuatan
semena-mena bahwa hukum diletakan
dalam
perkembangan sejarahnya serta diakui sepenuhnya sebagai sesuatu gejala histories.
Sejarah hukum
merupakan bagian dari sejarah umum, yang
tersaji dalam bentuk sinopsis suatu keterpaduan seluruh aspek kemasyarakatan
dari abab ke abad, yakni sejak untuk pertama kali tersedia informasi sampai
masa kini. Sebagai ilmu pengetahuan, sejarah hukum tergolong ilmu pengetahuan
sosial atau ilmu pengetahuan kemanusiaan (humaniora), yang memunyai kesamaan
dengan ilmu pengetahuan alam, yakni semua adalah empiris, artinya bertumpu pada
pengamatan dan pengalaman suatu aspek tertentu dari kenyataan. Sejarah mempelajari
perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya, sedangkan sejarah hukum
merupakan satu aspek tertentu dari hal itu, yakni hukum. Apa yang berlaku untuk
seluruh, betapapun juga berlaku untuk bagian, sehingga sejarah hukum dapat
menentukan dalil-dalil atau hukum-hukum perkembangan kemasyarakatan. Bahwa sejarawan hukum sangat
penting memberikan sumbangsihnya kepada penulisan sejarah secara terpadu, mengingat
peran besar yang dimainkan oleh hukum di dalam perkembangan pergaulan hidup
manusia. Hal tersebut integral dalam pengertian bahwa ia tidak dapat diwujudkan
dengan memisahkan hukum dari gejala-gejala kemasyakatan lainnya, yang antra
hal-hal tersebut dengan hukum dapat ditelusuri keterkaitannya.
Penelitian tatanan-tatanan hukum
primitif tuna aksara dan tatanan hukum yang lebih maju menunjukan bahwa sumber
hukum primer adalah kebiasaan (hukum). Di
semua pergaulan hidup nampaknya suasana kehidupan menyebabkan terbentuknya
kebiasaan-kebiasaan. Untuk dapat dikatakan kebiasaan
hukum harus memenuhi persyaratan :
1)
kebiasaan itu tidak boleh merupakan kebiasaan individual, melainkan suatu
kebiasaan kemasyarakatan;
2)
kebiasaan itu harus menyangkut suatu perbuatan
(komisi) atau penahanan diri (omnisi), yang dalam kehidupan bermasyarakat meluangkan berbagai (setidak-tidaknya dua)
kemungkinan;
3)
kehidupan (kebiasaan) ini harus dialami oleh masyarakat sebagai suatu
yang mempunyai kekuatan mengikat ; dan
4)
kebiasaan tersebut harus dikukuhkan oleh penguasa umum.
Menurut Hart, ahli filsafat hukum Inggris, pengukuhan
kebiasaan-kebiasaan merupakan gejala yang disebut “aturan pengukuhan” (rule
of recognition). Ketentuan-ketentuan tersebut, baik larangan langsung atau
tidak langsung maupun berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap penguasa
merupakan norma-norma hukum yang mengandung sebuah perikatan berdasarkan hubungan-hubungan
dan perimbangan-perimbangan kemasyarakatan dan kepentingan-kepentingan timbal
balik yang saling mempengaruhi yang terjadi dalam kebiasaan-kebiasan masyarakat
yang tumbuh dan berkembang dan aturan-aturan hukum yang dibuat penguasa sangat
bergantung pada perimbangan-perimbangan kekuatan antara berbagai kelompok
masyarakat dan penguasa. Selanjutnya mengenai Keadilan, Keseimbangan,dan
Kepastian Hukum, (Pembagian lebih lanjut atutarn-aturan menurut Hart) Hart, menamakan norma-norma dengan “aturan-aturan
hukum primer”dan “aturan-aturan sekunder”. Norma-norma tersebut telah menjawab
atau merespon yang oleh Redbruch dianggap sebagai komponen ide hukum, yakni
keadilan dengan asas keseimbangan dan kepastian hukum dalam masyarakat. Konsensus yang terjadi antara
yang memerintah dan yang diperintah, bertumpu pada suatu gagasan adanya keseimbangan antara
hak dan kewajiban yang dapat dijadikan dasar keadilan. Pengakuan,
pengukuhan, dan pemberian
sanksi kebiasaan oleh
penguasa inilah awal dari perundang-undangan, selanjutnya dibangun
peradilan untuk memberikan putusan-putusan oleh pejabat-pejabat yang ditunjuk untuk itu.
Pada umumnya semua bangsa pernah mengalami evolusi hukum selama berabad-abad sebelum periode mereka mempergunakan aksara.
Perbedaan antara pra sejarah hukum dan sejarah hukum pada hakikatnya terletak pada perbedaan sebelum
atau sesudah adanya aksara, yang berbeda
antara bangsa-bangsa, misalnya; bangsa Mesir peralihan tersebut terjadi
sekitar abad ke- 28 dan 27 SM, bangsa Romawi antara abad ke- 5 dan 6 SM, bangsa Germania pada
ke-5sesudah Masehi. Kemudian hukum yang berasal dari bangsa Romawi
tersebut, pada abad XIII muncul di Jerman,
berkembang serta berevolusi, yang dikenal dengan sistem hukum eropa continental / civil law,
biasa disebut sistem hukum Romawi-Jerman.
Sistem hukum ini berkembang dari Jerman ke Prancis kemudian ke Belanda, Belanda
menjajah Indonesia, mempengaruhi hukum di Indonesia. Di Inggris berkembang pula, Sistem
hukum anglo sexon/anglo amerika/common law, yang berlaku di Negara jajahan Inggris dan Amerika. Perbedaan antara keduanya adalah :
- Eropa continental /
civil law : menekankan kepada kepastian hukum
- Anglo sexon/ common
law : penapsiran hukum untuk keadilan
Sistem hukum Indonesia,
setelah Indonesia merdeka masih tetap memberlakukan hukum colonial Belanda (eropa continental / civil law), sebagaimana diatur dalam pasal II aturan peralihan
UUD 1945, yang memberlakukan hukum kolonial Belanda, sehingga Sistem hukum
Indonesia terdiri dari 4 sub sub sistem hukum :
-
Hukum nasional, Hukum yang dibuat setelah merdeka oleh
lembaga pembentuk UU/pemerintah, bentuknya tertulis dan mempunyai tingkatan herarki
perUU.
-
Hukum kolonial
(Belanda), Masih berlakunya hukum warisan kolonial (hukum perdata/BW, hukum
Pidana umum, dll. sepanjang belum dicabut masih tetap berlaku), membuktikan
masih berpengaruhnya sistem hukum eropa di Indonesia.
-
Hukum Adat, sebagai
sumber pembentukan hukum nasional
-
Hukum Agama, Mempengaruhi
hukum Indonesia. Contoh hukum peradilan agama, perkawinan Islam (Kompilasi
Hukum Islam Indonesia).
Demikian juga halnya perkembangan hukum
yang berdasarkan agama yang dimulai sejak lahirnya agama itu, seperti misalnya
sejarah perkembangan hukum Islam pada pertengahan abat ke-6 Masehi yang
bersumber dari Al’Quran dan hadist Rasul.
B.
Politik
Hukum
Secara etimologis, istilah politik hukum
berasal dari
istilah hukum Belanda rechtpolitiek (recht dan politiek), kata recht berarti hukum yang berasal dari bahasa arab, Hukm (kata
jamaknya ahkam), yang berarti ( Judgement, verdict, decision), ketetapan
(provision ), pemerintah (command ), pemerintahan (government), kekuasaan
(author,power), hukuman (sentences) dan kata akama-yahkumu, berarti memutuskan,
mengadili, menetapkan, memerintahkan, memerintah, menghukum, mengendalikan,
dll. Dalam
kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh ven derTas, kata politiek
mengandung arti beleid,
yang dalam
bahasa Indonesia berarti kebijakan (Policy). Dalam kamus besar bahasa Indonesia
kebijakan berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak, sehingga secara
singkat, “
politik hukum berarti kebijakan hukum”.
Istilah
politik hukum sudah sangat banyak digunakan dalam berbagai disiplin ilmu hukum.
Beberapa pakar hukum mengungkapkan pengertian politik hukum, sebagai :
1.
Teuku
Mohammad Radhie, dalam
bukunya Pembaharuan
dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan nasional memberikan pengertian
politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasaan Negara mengenai
hukum yang berlaku diwilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang
dibangun.
2.
Sunaryati
Hartono,
mengemukakan, politik
hukum adalah menyangkut hukum mana yang perlu
dibentuk (diperbaharui, diubah atau diganti), hukum mana
yang harus dipertahankan agar secara
bertahap tujuan Negara dapat terwujud.
3.
Padmo
Wahjono, dalam bukunya Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum mendefenisikan
politik hukum sebagai kebijakan dasar yangm menentukan arah, bentuk, maupun isi
dari hukum yang akan dibentuk.
4.
Satjipto
Rahardjo, politik
hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai
suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
5.
Moh.
Mahfud MD,
mengatakan
bahwa politik hukum adalah “legal policy”, atau garis (kebijakan) resmi tentang
hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan
peggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara”. Dalam
buku, Dasar Dasar Politik Hukum, Moh. Ia berkesimpulan bahwa
suatu proses dan konfigurasipolitik rezim tertentu akan sangat signifikan pengaruhnya
terhadap suatu bentuk produk hukum yang kemudian dilahirkannya, dalam
negara yang konfigurasi politiknya demokratis,produk hukum berkarakter
responsive atau populistik, sedangkan di negara yang konfigurasi
politiknya otoriter, produk hukumnya
berkarakter ortodoks atau konservatif atau elitis.
Tujuan politik hukum, Soehino
mengemukakan 3 tujuan pengkajian politik hukum :
1.
Agar orang mampu memahami pemikiran-pemikiran masa
lampau, yang melatar belakangi
penetapan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum yang sedang
berlaku, dengan
demikian mampu mengaplikasikan atau menerapkan aturan-aturan hukum dan atau
ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana mestinya.
2.
Agar orang mampu menentukan dan memilih
pemikiran-pemikiran tersebut diatas, yang dapat dipergunakan sebagai atau
menjadi dasar penetapan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum
ius constitutum dari ius constituendum yang berlaku dalam rangka menghadapi
perkembangan, perubahan, atau pertumbuhan kehidupan bermasyarakat. Sehingga
mampu menetapkan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum baru
sesuai dengan kebutuhan kehidupan bermasyarakat.
3.
Agar orang mampu memahami kebijakan yang menggariskan
kerangka dan arah tata hukum, sehingga
dapat menerapkan dan mengembangkan hukum sesuai dengan kebutuhan hidup
bermasyarakat dalam satu sistem.
Selanjutnya,
wilayah kajian politik hukum yang menjadi wilayah
telaahan dari
politik hukum sebagai berikut:
1.
Proses penggalian nilai nilai dan aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat oleh penyelanggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
2.
Proses perdebatan dan perumusan nilai nilai dan aspirasi tersebut kedalam
bentuk sebuah rancangan peraturan perundang undangan oleh penyelenggara
negara yangberwenang merumuskan politik hukum.
3.
Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan/menetapkan politik hukum.
4.
Peraturan perundang undangan yang mempengaruhi dan menentukan suatu
politk hukum, baik yang akan, sedang dan telah ditetapkan.
5. Pelaksanaan dari peraturan perundang undangan yang
merupakan implementasi daripolitik hukum suatu Negara.
Demikianlah
Politik
hukum pada mulanya dimaknai sebagai legal policy (kebijakan hukum) yang berlaku
di suatu
wilayah tertentu. Politik hukum dalam makna demikian mengandung pengertian politik hukum menganut asas
lokalitas, artinya,
implementasinya terbatas pada wilayah di mana legal policy tersebut berlaku. Selanjutnya, politik hukum juga
dipahami sebagai suatu kerangka berfikir dalam menentukan sekaligus memahami
kebijakan hukum, artinya,
politik hukum juga berguna
untuk mengetahui arah pembangunan dan pembaharuan hukum
yang
hendak dicapai dari legal policy itu.
Dalam hal ini, politik hukum secara umum
bermanfaat untuk mengetahui bagaimana proses yang tercangkup dalam wilayah
kajian itu dapat menghasilkan sebuah legal policy yang sesuai kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat. Ke-lima wilayah kajian itu tentu saja bersifat integral satu sama
lain. Jadi dapatlah dikatakan bahwa :
hukum
adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum cenderung
mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik
terhadap pembangunan hukum.
Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek
yaitu proses pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius
contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi
kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga
dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas
Dye yaitu: “whatever the government choose to do or not to do”.
Politik hukum juga didefinisikan sebagai pembangunan hukum.
C.
Politik Dan Konsep
Negara Hukum
Istilah Negara Hukum baru dikenal pada
Abad XIX,
tetapi konsep Negara Hukum telah lama ada dan berkembang sesuai dengan tuntutan
keadaan. Dari jaman Plato hingga kini, konsepsi Negara Hukum telah banyak
mengalami perubahan yang mengilhami para filsuf dan para pakar hukum untuk
merumuskan apa yang dimaksud dengan Negara Hukum dan hal-hal apa saja yang
harus ada dalam konsep Negara Hukum.
Perkembangan Negara Hukum sudah ada
sejak jaman Plato dan Aristoteles. yang mengintrodusir
Negara Hukum adalah negara yang diperintah oleh negara yang adil. Dalam
filsafatnya, keduanya menyinggung angan-angan (cita-cita) manusia yang
berkorespondensi dengan dunia yang mutlak yang disebut :
a.
Cita-cita untuk mengejar kebenaran (idée
der warhead);
b.
Cita-cita untuk mengejar kesusilaan (idée
der zodelijkheid);
c.
Cita-cita manusia untuk mengejar
keindahan (idee der schonheid);
d.
Cita-cita untuk mengejar keadilan (idée
der gorechtigheid).
Plato dan Aristoteles menganut paham filsafat idealisme. Menurut
Aristoteles, keadilan dapat berupa komunikatif (menjalankan keadilan) dan
distribusi (memberikan keadilan). Menurut Plato yang kemudian dilanjutkan oleh
Aristoteles, bahwa hukum yang diharapkan adalah hukum yang adil dan dapat
memberikan kesejahteraan bagi msyarakat, hukum yang bukan merupakan paksaan
dari penguasa melainkan sesuai dengan kehendak warga Negara, dan untuk mengatur
hukum itu dibutuhkan konstitusi yang memuat aturan-aturan dalam hidup
bernegara.
Jika ditelaah secara historis dan praktis, konsep negara hukum
muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Al-Qur’an dan Sunnah
atau Nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang
dinamakan rechtstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon rule of law,
konsep sosialist legality, dan konsep negara hukum pancasila. Di sisi lain, Negara hukum dimulai dari
konsepsi Negara hukum liberal (nachwachter staat/negara sebagai penjaga malam)
ke negara hukum formal (formele rechtsstaat) kemudian menjadi negara hukum
materiil (materiele rechtsstaat) hingga pada ide negara kemakmuran
(welvarstaat) atau negara yang mengabdi kepada kepentingan umum (social service
state atau sociale verzorgingsstaat). Menuru Philipus M. Hadjon hanya ada 3
(tiga) konsep negara hukum, yaitu: rechtstaats, the rule of law, dan negara
hukum pancasila.
Muhammad Taher Azhary, dalam bukunya yang berjudul Negara Hukum
(Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya Pada Periode Negara Madinah Dan Masa Kini), mengemukakan ada
lima (5) macam konsep negara hukum, sebagai species begrip yaitu:
1.
Negara hukum menurut Qur’an dan
Sunnah (Nomokrasi Islam) lebih tepat dan lebih memperlihatkan kaitan nomokrasi
atau negara hukum dengan hukum Islam;
2.
Negara hukum menurut Konsep
Eropa kontinental yang dinamakan rechtsstaat, model negara hukum ini diterapkan
misalnya di Belanda, Jerman dan Perancis;
3.
Konsep rule of law yang
diterapkan di negara-negara Anglo-Saxon, antara lain Inggris dan Amerika
Serikat;
4.
Suatu konsep yang disebut
socialist legality yang diterapkan antara lain di Uni Soviet sebagai negara
komunis; dan
5.
Konsep Negara Hukum Pancasila.
Dalam konsepsi Negara hukum terkandung
prinsip-prinsip negara hukum (nomocratie), yang masing-masing prinsip dari
kedua konsepsi tersebut dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi dari satu
mata uang. Paham negara hukum yang demikian dikenal dengan sebutan “negara
hukum yang demokratis” (democratische rechtsstaat) atau dalam bentuk
konstitusional disebut constitutional democracy. Disebut sebagai “negara hukum
yang demokratis”, karena di dalamnya mengakomodasikan prinsip-prinsip Negara
hukum dan prinsip-prinsip demokrasi.
Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan
mekanisme aturan yang ditaati bersama dalam konteks kehidupan bernegara, di
mana terkait pula dimensi-dimensi kekuasaan yang bersifat vertical antar
institusi negara dengan warga negara. Oleh karena itu, negara hukum itu harus
ditopang dengan system demokrasi karena terdapat korelasi yang jelas antara
negara hukum yang bertumpu pada konstitusi, dengan kedaulatan rakyat yang
dijalankan melalui sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi partisipasi rakyat
merupakan esensi dari sistem ini. Akan tetapi, demokrasi tanpa pengaturan hukum
akan kehilangan bentuk dan arah, sementara hukum tanpa demokrasi akan
kehilangan makna.
Menurut Frans Magnis Suseno, demokrasi yang bukan
negara hukum bukan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya. Demokrasi merupakan
cara yang paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum. Dengan
demikian dalam negara hukum yang demokratis, hukum dibangun dan ditegakkan
menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan,
ditafsirkan, dan ditegakkan dengan “tangan besi” berdasarkan kekuasaan semata
(machtsstaat). Sebaliknya, demokrasi haruslah diatur berdasar atas hukum
(rechtsstaat) karena perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrumen hukum
untuk mencegah munculnya mobokrasi, yang mengancam pelaksanaan demokrasi itu
sendiri.
Indonesia sebagai negara yang terlahir pada abad
modern melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 juga “mengklaim” dirinya sebagai
Negara hukum. Hal ini terindikasikan dari adanya suatu ciri negara hukum yang
prinsip-prinsipnya dapat dilihat pada Konstitusi Negara R. I. (sebelum
dilakukan perubahan), yaitu dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh (non
Pasal-pasal tentang HAM), dan Penjelasan UUD 1945 dengan rincian :
1. Pembukaan
UUD 1945, memuat dalam alinea pertama kata “perikeadilan”, dalam alinea kedua
“adil”, serta dalam alinea keempat terdapat perkataan “keadilan sosial”, dan
“kemanusiaan yang adil”. Semua istilah itu berindikasi kepada pengertian negara
hukum, karena bukankah suatu tujuan hukum itu untuk mencapai negara keadilan.
Kemudian dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat juga ditegaskan “maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar
Negara Indonesia”.
2. Batang
Tubuh UUD 1945, Pasal 27, menetapkan bahwa “segala warga negara bersamaan
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal ini selain menjamin prinsip equality before the law, suatu hak demokrasi
yang fundamental, juga menegaskan kewajiban warga negara untuk menjunjung
tinggi hukum suatu prasyarat langgengnya negara hukum; dan
3. Penjelasan
UUD 1945, merupakan penjelasan autentik dan menurut Hukum Tata Negara
Indonesia, Penjelasan UUD 1945 itu mempunyai nilai yuridis, dengan huruf besar menyatakan: “Negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)
Dalam Seminar Nasional Indonesia pada
tahun 1966 di Jakarta tentang Indonesia Negara Hukum, yang mana salah satu
hasil Seminar adalah dirumuskannya prinsip-prinsip Negara Hukum yang menurut
pemikiran saat itu, prinsip ini dapat diterima secara umum. Prinsip-prinsip itu
adalah :
a. Prinsip-prinsip
jaminan dan perlindungan terhadap HAM;
b. Prinsip
peradilan yang bebas dan tidak memihak, artinya.
Kedudukan peradilan haruslah independen tetapi tetap membutuhkan
pengawasan baik internal dan eksternal. Pengawasan eksternal salah satunya
dilaksanakan oleh Komisi Ombudsman (dibentuk dengan Keppres No. 44 Tahun 2000
tentang Komisi Ombudsman) yaitu Lembaga Pengawas Eksternal terhadap Lembaga
Negara serta memberikan perlindungan hukum terhadap publik, termasuk proses
berperkara di Pengadilan mulai dari perkara diterima sampai perkara diputus.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pembentukan
Dan Perkembangan Hukum Islam
Sejarah terbentuknya
perundang-undangan dalam Islam, atau sejarah pembentukan hukum Islam, dalam
bahasa Arab disebut, Tarikh Tasyri’
Pembentukan undang-undang ini
sumbernya dari Allah dengan perantaraan Rasul dan kitab-kitabnya, maka hal itu
dinamakan perundang-undangan Allah (at-Tasyri'ul Ilahiyah), sedangkan sumber
datang dari manusia baik secara individual maupun kolektif dinamakan
perundang-undangan buatan manusia (at-Tasyri'ul Wad'iyah). Pengertian tarikh
tasyri' menurut Ali As Sayis adalah Ilmu yang membahas keadaan hukum pada zaman
Rasul dan sesudahnya dengan uraian dan periodesasi yang padanya hukum itu
berkembang, serta membahas ciri-ciri spesifikasinya keadaan fuqoha dan mujtahid
dalam merumuskan hukum itu.
Ruang
lingkup sejarah pembentukan hukum Islam (Tarikh Tasyri’) tak terbatas pada keadaan perundang-undangan Islam dari zaman ke zaman yang
ditinjau dari sudut pertumbuhan perundang-undangan Islam, termasuk di dalamnya
hal-hal yang menghambat dan mendukungnya serta biografi sarjana-sarjana fiqh
yang banyak mengarahkan pemikirannya dalam upaya menetapkan perundang-undangan.
Kamil Musa dalam al-madhkal ila tarikh at-Tasyri' al-Islami, mengatakan bahwa
Tarikh Tasyri' tidak terbatas pada sejarah pembentukan al Qur'an dan As Sunnah.
Ia juga mencakup pemikiran, gagasan dan ijtihad ulama pada waktu atau kurun
tertentu.
Sejarah
Pembentukan Dan Perkembangan Hukum Islam penting untuk di bahas di sini karena
Politik Hukum Islam merupakan jiwa dari pertumbuhan dan perkembangan hukum
Islam itu sendiri. Dalam menyusun
sejarah pembentukan dan pembinaan hukum (fiqh) Islam, dikalangan ulama fiqh
kontemporer terdapat beberapa macam cara. Dua diantaranya yang terkenal adalah
cara menurut Syekh Muhammad Khudari Bek (mantan dosen Universitas Cairo) dan
cara Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fiqh Islam Universitas Amman, Yordania)
:
Cara pertama, periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syekh
Muhammad Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh at-Tasyri' al-Islamy (Sejarah
Pembentukan Hukum Islam). Ia membagi masa pembentukan hukum (fiqh) Islam dalam
enam periode, yaitu :
1.
Periode
awal, sejak Muhammad bin Abdullah jadi Rasul.
2.
Periode para sahabat besar
3.
Periode sahabat kecil dan thabi'in;
4.
Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4
H;
5.
Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid
mazhab; dan
6.
Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh
Hulagu Khan [1217-1265] sampai sekarang.
Cara kedua,
pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa dalam bukunya, al-Madkhal
al-Fiqhi al-'Amm (Pengantar Umum fiqh Islam). Ia membagi periodisasi
pembentukan dan pembinaan hukum Islam dalam tujuh periode. Ia setuju dengan
pembagian Syekh Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia membagi periode
keenam menjadi dua bagian, yaitu:
1.
Periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya
Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada
tahun 1286 H; dan
2.
Periode sejak munculnya Majalah al-Al-Akam
al-'Adliyyah sampai sekarang.
Secara
lengkap periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam menurut Mustafa Ahmad
az-Zarqa adalah sebagai berikut :
Periode awal, Masa Rasulullah SAW., kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan
Rasulullah, sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur'an. Apabila
ayat Al-Qur'an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan
bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini
dinamakan sunnah Rasulullah SAW. Istilah fiqh dalam pengertian yang dikemukakan
ulama fiqh klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. ilmu dan fiqh pada masa Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama,
yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW.
Pengertian fiqh
di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat dipahami dari nash (ayat
atau hadits), baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum, maupun
kebudayaan. Disamping itu, fiqh pada periode ini bersifat aktual, bukan
bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu masalah baru ditentukan setelah
kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu. Pada periode
Rasulullah belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa periode
sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah telah
mengemukakan kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hukum Islam, baik yang
berasal dari Al-Qur'an maupun dari sunnahnya sendiri.
Periode
kedua, Masa
al-Khulafa' ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad ke-l H.
Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah yang
menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat,
rujukan untuk bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar
melihat bahwa perlu dilakukan ijtihad apabila hukum untuk suatu persoalan yang
muncul dalam masyara'at tidak ditemukan dalam
Al-Qur'an atau sunnah Rasulullah. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah
kekuasaan Islam membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan
budaya di masing-masing daerah. Dalam
keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk melakukan ijtihad dan menjawab
persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan hasil ijtihad mereka. Ketika itu
para sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul dan memusyawarahkan persoalan
itu. Apabila sahabat yang menghadapi persoalan itu tidak memiliki teman musyawarah
atau sendiri, maka ia melakukan ijtihad sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang
telah ditinggalkan Rasulullah SAW. Pengertian fiqh dalam periode ini
masih sama dengan fiqh di zaman Rasulullah SAW, yaitu bersifat aktual,
bukan teori. Artinya, ketentuan hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus
itu saja, tidak merambat kepada kasus lain secara teoretis.
Periode ketiga, dimulai dari masa pemerintahan Mua’wiyah bin Abu Sufyan tahun 41 H sampai
timbulnya segi-segi kelemahan pada kerajaan
Arab yakni pada awal abad ke II H. periode ini dimulai dengan bersatunya
pendapat jumhur Islam pada Mu’awiyah bin Abu Sufyan, karena itu
tahun 41 H disebut ‘amul jama’ah (tahun
persatuuan Islam) hanya saja benih perselisihan politik tidak padam, masih ada
yang menyembunyikan perselisihan dan tipu daya terhadap Mu’awiyah dan
keluarganya, dari golongan
Khawarij dan Syi’ah.
Pertengahan
abad ke-1H sampai awal abad ke-2 H. merupakan
awal pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah
ketiga, para sahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang
ditaklukkan Islam, masing-masing
sahabat mengajarkan Al-Qur'an dan hadits pada penduduk setempat. Di Irak
dikenal pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas'ud (Ibnu Mas'ud), Zaid
bin Sabit (11 SH/611M-45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah
dan Ibnu Abbas di Makkah. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang
berbeda, sesuai dengan keadaan masyarakat setempat. Para sahabat ini berhasil
membina kader masing-masing yang dikenal dengan para thabi'in. Para thabi'in yang terkenal itu adalah Sa'id bin
Musayyab (15-94 H) di Madinah, Atha’ bin Abi Rabah (27-114H) di Makkah,
Ibrahiman-Nakha'i (w. 76 H) di Kufah, Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di
Basra, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka ini kemudian menjadi
guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyara'at
setempat. Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga
muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah
tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka,
sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut. Dari
perbedaan metode yang dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqh
Islam Madrasah al-hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra'yu.
Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan
Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-ra'yu dikenal dengan sebutan Madrasah
al-Iraq dan Madrasah al-Kufah. Kedua aliran ini menganut prinsip
yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat
berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits Rasulullah,
di samping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya
tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq
dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam
berijtihad. Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits Rasulullah yang sampai
pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat
dan beragam, baik secara kualitas maupun kuantitas, dibandingkan dengan yang
dihadapi Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz (Hedzjaz) berhadapan dengan suku bangsa
yang memiliki budaya homogen, sedangkan ulama Irak berhadapan dengan masyara'at
yang relatif majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak
mengherankan jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad. Pada
periode ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan
pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan
kedua, karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang
mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara' yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Di samping fiqh, pada periode ketiga ini pun usul fiqh telah matang menjadi
salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas,
istihsan dan istishlah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembangannya,
fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang
akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftirâdî (fiqh berdasarkan
pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang). Pada periode
ketiga ini pengaruh ra'yu (ar-ra'yu; pemikiran tanpa berpedoman kepada
Al-Qur'an dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin berkembang karena
ulama Madrasah al-hadits juga mempergunakan ra'yu dalam fiqh mereka. Di
samping itu, di Irak muncul pula fiqh Syiah yang dalam beberapa hal berbeda
dari fiqh Ahlusunnah wal Jama'ah (imam yang empat).
Periode Keempat, Pertengahan
abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H, disebut
sebagai periode gemilang karena fiqh
dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah muncul
berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat; Mazhab
Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali. Pertentangan antara Madrasah
al-hadits dengan Madrasah ar-ra'yu semakin menipis, masing-masing
pihak mengakui peranan ra'yu dalam berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh
Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, bahwa
pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata kemudian masing-masing
kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok lain. Imam Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi yang dikenal sebagai Ahlurra'yu
(Ahlulhadits dan Ahlurra'yu), datang ke Madinah berguru pada Imam
Malik dan mempelajari kitabnya, al-Muwaththa' (buku hadits dan fiqh).
Imam asy-Syafi'i, salah seorang tokoh ahlulhadits, datang belajar kepada
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam Abu Yusuf, tokoh ahlurra'yu, banyak
mendukung pendapat ahli hadits dengan mempergunakan hadits-hadits Rasulullah.
Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah. kitab-kitab fiqh banyak berisi
ra'yu dan hadits. Hal ini menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing
kelompok. Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah
pun mulai menganut salah satu mazhab fiqh resmi negara, seperti dalam
pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan fiqh Mazhab Hanafi sebagai
pegangan para hakim di pengadilan. Di samping sempurnanya penyusunan
kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab, dalam periode ini juga disusun
kitab-kitab usul fiqh, seperti kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam asy-Syafi'i.
Sebagaimana pada periode ketiga, pada periode ini fiqh iftirâdî semakin
berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan
aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoretis. Oleh sebab
itu hukum untuk
permasalahan yang mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan.
Pertentangan-pertentangan dalam materi usul fiqh merupakan sebab kesibukan
ulama untuk menyusun ilmu yang mereka namakan
“usul fiqh” yaitu kaida-kaidah yang wajib diikuti oleh setiap mujtahid dalam
istinbath.
Periode Kelima, Pertengahan
abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H, ditandai
dengan menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka cukup
puas dengan fiqh yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih banyak mencurahkan
perhatian dalam mengomentari, memperluas atau meringkas masalah yang ada dalam
kitab fiqh mazhab masing-masing. Lebih jauh, Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan
bahwa pada periode ini muncullah anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup.
Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab yang menjadikan
tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai berikut:
1.
Munculnya sikap ta'assub madzhab (fanatisme
mazhab imamnya) di kalangan pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik
mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab daripada mengikuti metode yang
dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad;
2.
Para hakim
yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama
sekali. Dipilihnya
para hakim yang hanya bertaqlid kepada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqh yang diterapkan
hanyalah hukum fiqh mazhabnya; sedangkan sebelum pada suatu mazhab; dan
3.
Munculnya buku-buku fiqh yang disusun oleh
masing-masing mazhab, membuat umat
Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut.
Sekalipun
ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya terbatas pada
mazhab yang dianutnya. Di samping itu perkembangan
pemikiran fiqh serta metode iitihad menyebabkan banyaknya upaya tarjadi
(menguatkan satu pendapat) dari ulama dan munculnya perdebatan antarmazhab di
seluruh daerah, menyebabkan
masing-masing pihak/mazhab menyadari kembali kekuatan dan kelemahan
masing-masing. Akan tetapi, perdebatan ini kadang-kadang jauh dari sikap-sikap
ilmiah.
Periode Keenam, Pertengahan
abad ke-7 H sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah pada tahun
1286 H, diawali
dengan kelemahan semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta ta'assub
(fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur'an
dan sunnah Rasulullah serta
pertimbangan tujuan syara' dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada
sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud (konservatif). Upaya mentakhrij
(mengembangkan fiqh melalui metode yang dikembangkan imam mazhab) dan mentarjih
pun sudah mulai memudar. Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajari sebuah
kitab fiqh dari kalangan mazhabnya, sehingga penyusunan kitab fiqh pada periode
ini pun hanya terbatas pada meringkas dan mengomentari kitab fiqh tertentu. Di
akhir periode ini pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping
itu, keinginan penguasa pun sudah masuk ke dalam masalah-masalah fiqh. Pada
akhir periode ini dimulai upaya kodifikasi fiqh (hukum) Islam yang seluruhnya
diambilkan dari mazhab resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajaan Ottoman;
1300-1922), yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan Majalah al-Ahkam
al-'Adliyyah.
Periode Ketujuh, Sejak munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah
sampai sekarang. Ada tiga ciri pembentukan fiqh Islam pada periode ini, yaitu:
1.
Munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah sebagai
hukum perdata umum yang diambilkan dari fiqh Mazhab Hanafi;
2.
Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan
3.
Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai
pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.
Munculnya
kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah dilatar-belakangi
oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di
pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab dan sering
dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari
berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim, di samping memerlukan
waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat harus ada
satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan. Untuk mencapai tujuan ini
dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia
ini berhasil menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majalah al-Ahkam
al-'Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan
penyusunan Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah, para penguasa di negeri-negeri
Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula menyusun
kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun
ketatanegaraan. Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama
dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai
mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat itu.
Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga
dari para sahabat dan thabi'in, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat
dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari
berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab
hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari
berbagai pendapat mazhab.
Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab
yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi
hukum Islam dalam berbagai bidang hukum.
Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah
Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari pendapat
yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam
mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan
di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan. Semangat kodifikasi hukum (fiqh)
Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh pengaruh hukum Barat yang
mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini menyadarkan
ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat
mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad
az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum
Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di
banyak negara Islam telah bermunculan hukum keluarga yang diambil dari berbagai
pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan,
Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia. Ali Hasaballah, ahli fiqh Mesir mengatakan, upaya
penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak, tetapi
pembentukan dan pengembangan hukum Islam tidak harus
mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, melainkan dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya; Al-Qur'an
dan sunnah Rasulullah. Menurutnya, ijtihad jama'i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan
berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga
ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi, sehingga hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fiqh
dalam berbagai mazhab.
B. Perkembangan Politik Hukum Islam
Hukum
Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu
masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa dukungan politik sulit digali dan
diterapkan. Politik yang mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan
dalam masyarakat. Semakin baik hubungan Islam dan politik semakin besar peluang
hukum Islam diaktualisasikan, dan semakin renggang hubungan Islam dan politik,
semakin kecil peluang hukum Islam diterapkan. Politik suatu
negara akan mempengaruhi masyarakat, yang mendambakan kehidupan yang tertib,
aman, damai, sejahtera lahir batin, yang tidak bisa dilepaskan dari system
politik yang diterapkan di negara yang bersangkutan. Demikian pula ajaran Islam
sebagai ajaran yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh juga diyakini
mengandung kajian masalah politik dan kenegaraan. Ibn Khaldun berpendapat,
agama memperkokoh kekuatan yang telah dipupuk oleh Negara dan solidaritas dan
jumlah penduduk, karena semangat agama bisa meredakan pertentangan dan iri hati
yang dirasakan oleh satu anggota dari golongan itu terhadap anggota lainnya,
dan menuntun mereka ke arah kebenaran.
Jadi adalah adalah keliru pemikiran-pemikiran yang bersifat fanatik terhadap pemikiran barat yang
mengatakan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur urusan hamba dengan
tuhannya dan tidak mengatur masalah-masalah social dan politik , pada hal
persoalan yang pertama timbul dalam Islam bukanlah persoalan tentang keyakinan
melainkan persoalan politik.
Dalam bahasa Arab, politik biasanya diwakili oleh kata al-siyasah dan daulah,
walaupun kata-kata tersebut dan kata-kata lainnya yang berkaitan dengan politik
seperti kadilan, musyawarah, pada mulanya bukan ditujukan untuk masalah
politik. Kata siyasah dijumpai dalam
bidang kajian hukum, yaitu ketika berbicara masalah imamah, sehingga dalam
fiqih dikenal adanya bahasan tentang Fiqih
Siyasah. Demikian pula kata daulah
pada mulanya dalam Al-qur’an digunakan untuk kasus penguasaan harta dikalangan
orang-orang kaya, yaitu bahwa dengan zakat diharapkan harta tersebut tidak
hanya berputar pada tangan-tangan orang yang kaya. Karena menurut sifatnya
harta tersebut harus mengalir atau berputar, dan tidak hanya dikuasai oleh
orang-orang yang kaya (dulatan baina
agniya), kata daulah tersebut
juga digunakan untuk masalah politik yang sifatnya berpindah dari satu tangan
ke tangan lainnya. Demikian juga kata keadilan banyak digunakan untuk
memutuskan perkara dalam kehidupan; dan kata musyawarah pada mulanya digunakan
pada kasus suami istri yang akan menyerahkan anaknya untuk diasuh oleh
perempuan lain yang dalam hal ini perlu dimusyawarahkan. Namun dalam perkembangan selanjutnya sejarah
menggunakan kata siyasah dan
kata-kata lain yang maknanya berkaitan dengan kata tersebut digunakan untuk
pengertian pengaturan masalah kenegaraan dan pemerintahan serta hal-hal lainnya
yang terkait dengannya. Rasulullah menggunakan kata
politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah
Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya).
Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi
setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah
bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan
masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum
muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan
melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa
yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin,
mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta
memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti
ditegaskan dalam banyak hadits terkenal, antara lain sabda Nabi Muhammad : "Siapa saja yang bangun pagi dengan
gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang
bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari
golongan mereka." (HR. Al Hakim)
Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Beliau
menjawab : "Kalimat haq yang
disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).
Berarti secara ringkas Politik hukum Islam memberikan
pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim. Namun, realitas politik demikian
menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan
maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka
yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan
umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan
penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa.
Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam,
kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam
mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan
pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai
pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum
sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang
yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok
berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan
tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian
kaum muslimin yang sebenarnya ikhlas
dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang
digunakan untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad
Dauliyyah, hal. 31-33).
Definisi politik hukum dari sudut pandang Islam adalah
pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar
negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun
kelompok atau individu rakyat.
Rasulullah bersabda:“Adalah Bani Israel, para Nabi
selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi
berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah
yang banyak”(HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa
Khalifahlah yang mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah Nabi. Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam
adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum
Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh
Imam al-Ghazali: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah
pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak
berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya
akan hilang dan lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan
sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari
politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan,
bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat
ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht
anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan
perjuangan kekuasaan).
Adapun umat Islam berbeda pendapat tentang pengertian politik dalam
syari’at Islam :
Pendapat
Pertama, Islam adalah satu agama yang
serba lengkap yang didalamnya terdapat antara lain sistem ketatangaraan atau
politik. Dalam bahasa lain, system politik atau fiqih Siyasah merupakan
integral dan ajaran Islam. Lebih jauh kelompok ini berpendapat bahwa sistem
keteladanan yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh
Nabi Muhammad dan para Khulafaur
rasyidin, yaitu sistem khalifah.
Pendapat
kedua, Islam adalah agama dalam
pengertian barat (sekuler), artinya agama tidak ada hubungannya degan urusan
kenegaraan atau sistem pemerintahan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad Saw hanya
seorang rasul, seperti rasul-rasul yang lain, yang mempunyai misi menyiarkan
agama bukan sebagai pemimpin dan pengatur Negara.
Pendapat
ketiga, menyatakan menolak bahwa
Islam merupakan agama yang serba lengkap yang terdapat didalamnya segala sistem
kehidupan termasuk sistem ketatanegaraan, tetapi juga menolak pendapat bahwa
islam sebagaimana pendapat barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan
tuhan. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem
ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan
bernegara. Namun perlu diingat, sejarah membuktikan bahwa nabi kecuali seorang
rasul atau kepala agama beliau adalah sebagai kepala negara. Nabi menguasai
wilayah Yasrib atau Madinah al-Munawarah sebagai wilayah kekuasaan nabi,
sekaligus menjadi pusat pemerintahannya dengan Piagam Madinah sebagai aturan
dasar negaranya. Sepeninggal nabi, kedudukan beliau sebagai kepala Negara
digantikan oleh Abu Bakar yang merupakan hasil kesepakatan para tokoh sahabat,
selanjutnya disebut Khalifah. Sistem pemerintahannya disebut Khilafah, sistem
ini berlangsung hingga kepemimpinan dibawah kekuasaan Ali bin Abi Tholib.
Semua orang mengakui bahwa semua tata aturan yang Rasulullah Saw tegakkan
bersama-sama para mukmin di Madinah, apabila ditinjau dari segi kenyataan dan
dibandingkan dengan ukuran-ukuran politik pada masa modern ini dapatlah kita
katakan bahwa tata aturan itu merupakan tata aturan politik. Dalam pada itu
tidak ada hubungan kita mengatakan bahwa tata aturan itu berciri keagamaan,
yaitu apabila kita lihat kepada tujuan-tujuannya dan penggerak-penggeraknya.
Kalau demikian, dapatlah kita mengatakan bahwa tata aturan Islam itu adalah
tata aturan yang bersifat politik dan bersifat agama. Hal itu karena hakikat
Islam meliputi segi-segi kebendaan (maddiyah)
dan segi-segi kejiwaan (ruhiyah)dan
dia mencakup segala amal insani dalam
kehidupan duniawiyah dan ukhrawiyah. Islam
adalah agama pembaharu yang terasingkan dari tempat di mana ia diturunkan. Kota
Makkah dengan berbagai corak kehidupan masyarakat sosial belum mampu menerima
sepenuhnya kehadiran agama Islam. Hal itu dikarenakan sikap fanatisme yang
mengakar untuk mempertahankan esensi kabilah-kabilah. Penolakan masyarakat Makkah dapat di lihat dari penindasan-penindasan
yang dilakukan kaum kafir Quraisy terhadap Nabi Muhammad dan pengikutnya. Peristiwa tersebut
menjadikan umat Islam merasa pesimis akan diterima oleh kabilah-kabilah yang
ada, apalagi dengan ditolaknya seruan Nabi Muhammad oleh kabilah Thaqif dari
Ta’if, disusul dengan
penolakan-penolakan yang dilakukan oleh kabilah-kabilah Kinda, Kalb, Banu ‘Amir
dan Banu Hanifa.
Sejarah perkembangan Islam mencatat, bahwa Islam tumbuh
berkembang pesat di wilayah Yatsrib. Wilayah ini dihuni oleh beberapa kabilah
diantaranya, kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi. Perkembangan Islam di
Yatsrib dipengaruhi oleh adanya pertentangan perebutan kedaulatan dan kekuasaan
antara kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi. Selain itu, perkembangan Islam juga
didukung oleh adanya keyakinan pada tubuh kaum Yahudi dengan aliran
monotheismenya yang mencelah para penyembah berhala dan berkeyakinan bahwa akan
datang suatu saat seorang Nabi yang akan mendukung mereka (Yahudi) dengan
memberantas para penyembah berhala. Dari peristiwa-peristiwa lalu dapat kita ambil
kesimpulan bahwa agama islam juga mempunyai kaitan yang erat dengan aspek
politik. Sesuai dengan yang telah dipaparkan oleh Harun Nusution dalam bukunya
bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam adalah prsoalan politik.
Langkah politik Nabi Muhammad untuk mencari dukungan
dari penduduk Yatsrib pertama kali nampak pada peristiwa Ikrar Aqabah, peristiwa tersebut
menandai akan adanya kebebasan menyebarkan agama Islam sehingga
secara otomatis akan berdampak pada kekuatan Islam. Hal itu bisa kita lihat
dari sikap kaum kafir Qurasy yang terus-menerus menyelidiki para pengikut Ikrar Aqabah untuk diperlakukan
secara tidak manusiawi. Peristiwa itu terjadi karena kehawatiran kaum Qurasy
akan munculnya kekuatan baru pada tubuh umat Islam sehingga akan mengganggu
eksistensi kekuasaan kaum kafir Qurasy. Setelah
peristiwa Ikrar Aqabah, Nabi
Muhammad kembali memikirkan langkah politik selanjutnya dengan mengizinkan para
pengikutnya melakukan hijrah ke
Yatsrib, sementara beliau memilih
berdomisi di Makkah mencari masa-masa tenang sekaligus menunggu perintah dari
Allah. Para pakar berpendapat bahwa gerakan politik yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad merupakan langkah yang cerdas, penuh perhitungan, terbukti dengan
keberhasilan Nabi Muhammad dan para pengikutnya dalam melakukan perintah hijrah.
Para
peneliti sejarah politik ada yang mengkategorikan bahwa corak politik yang
diterapkan oleh nabi Muhammad adalah bercorak teo-demokratis, yaitu suatu pola
pemerintahan yang dalam setiap menyelesaikan persoalan terlebih dahulu
melakukan musyawarah baru kemudian menunggu ketetapan dari tuhan.
Kehidupan Yatsrib (kemudian terkenal dengan sebutan
Madinah) pada masa Nabi Muhammad menjadi batu pijakan utama dalam mencatat
sejarah perpolitikan umat Islam. Para pakar sejarah berpendapat bahwa politik
Islam dalam konteks negara, pertama kali muncul dan berkembang di Madinah. Perpolitikan Islam di Madiah terbentuk secara prural
dengan kolaborasi dari berbagai kalangan dan aliran, antara umat Islam, kaum
Yahudi, para penyembah berhala (kabilah Aus dan Khazraj). Secara garis besar,
suasana politik pada waktu itu dipengarui oleh dua imperium besar yaitu Romawi
dan Persia.
Langkah politik Nabi pertama kali adalah menyatukan
kaum muslimin muhajirin dan ansor.Langkah ini bisa dikatakan
cukup cerdas, karena untuk membentuk kekuatan komunitas, syarat utama yang
harus dipenuhi solidaritas antar penduduk.Kemudian Nabi membentuk
sebuah nota kesepakatan antara penduduk Madinah secara umum yang tercatat
sebagai piagam Madinah. Piagam ini merupakan dokumen
politik yang telah ditinggalkan oleh Nabi Muhammad selama kurun waktu seribu
empat ratus dua puluh lima tahun lamanya. Piagam ini pulalah yang telah
menetapkan adanya kebebasan beragama, menyatakan pendapat, berserikat, dan
pelarangan akan tindak kejahatan. Dengan piagam itu, kota Madinah menjadi
tempat yang memiliki peradapan tinggi karena benar-benar telah menghormati
seluruh penduduk yang berdomosili di dalamnya. Madinah yang semula dipenuhi
dengan tindak kejahatan, kekerasan dan peperangan menjadi kota yang menjunjung
tinggi hak dan egaliter. Menurut al-Sayyid Muhammad
Ma’ruf al-Dawalibi seorang pengajar di universitas Paris mengatakan
bahwa yang paling menakjubkan tentang piagam Madinah adalah memuat tentang
prinsip-prinsip perpolitikan umat Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan.
Para sejarawan berselisih pendapat dalam menentukan
ketokohan Nabi Muhammad dalam menjalankan roda perpolitikan di kota Madinah.
Hal itu disebakan adanya perbedaan pemahaman akan tugas seorang nabi. Apakah
sikap politik yang diambil oleh Nabi Muhammad sebagai aplikasi dari perintah
yang berupa wahyu atau merupakan hasil dari ijtihat sebagai seorang pemimpin atau hakim sebagai jawaban
dari kebutuhan dan situasi masyarakat? Perbedaan pandangan dalam menafsirkan tugas-tugas
kenabian dalam bidang politik menyebabkan perdepatan yang tak kunjung usai.
Apakah Islam memiliki sistem politik, apakah Islam merupakan agama yang
menjunjung demokrasi? Kalau kita mau jujur untuk kembali membuka
lembaran-lembaran sejarah, maka kita akan menemukan berbagai peristiwa yang
bersifat duniawi seperti; politik, ekonomi dan sebagainya, berawal dari
problema masyarakat masa Nabi, kemudian wahyu datang sebagai upaya penyelesaian
akan kebutuhan masyarakat. Berbeda dengan unsur akidah yang secara langsung
turun dari langit tanpa melihat pada kondisi masyarakat. Terlebih, sepeninggal nabi Muhammad, umat Islam tidak
memiliki sistem tatanan sosial politik yang baku sehingga peristiwa perebutan
kekuasaan untuk menggantikan posisi nabi Muhammad sebagai pimpinan menyebabkan
umat Islam terbelah menjadi berbagai golongan. Demikan halnya dengan persoalan
demokrasi, kalau kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang
mengedepankan asas musyawarah mufakat, maka Islam adalah agama yang paling
demokrasi. Namun, jika kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang
berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka Islam bukan agama
demokrasi karena secara hukum syari’ah Islam berasal dari Tuhan untuk
kemaslahatan manusia. Pada masa khalifah al-Rasyidin, sistem politik umat
Islam berbentuk khilafah, dengan proses pemilihan pemimpin melalui jalur
musyawarah mufakat atau melalui sistem perwakilan. Atau oleh peneliti sejarah
politik bentuk pemerintahan pada masa ini bercorak aristokrat demokratik.
Setelah Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar al-Shiddiq sebagai pemimpin (khalifah) umat
Islam pengganti Nabi Muhammad. Pidato kenegaraan yang dilontarkan Abu Bakar
al-Siddiq merupakan statemen politik yang maju dengan menggunakan
prinsip-prinsip modern yang partisipatif dan egaliter. Khotbah itu merupakan khotbah
pertama yang menerangkan sistem pemerintahan Islam . Abu Bakar merupakan khalifah yang mampu menyelesaikan
pertikayan-pertikayan yang terjadi ditubuh umat Islam. Perbedaan-perbedaan yang
muncul cenderung mengarah pada unsur politik bukan pada unsur agama. Salah satu
gerakan politik Abu Bakar al-Siddiq adalah memerangi orang-orang yang ingkar
zakat atau lebih dikenal denganhurûb al-riddah. Sosio politik umat
Islam pada masa Abu Bakar al-Siddiq berjalan stabil. Prinsip-prinsip
perpolitikan dalam membentuk sebuah khilafah yang digunakan berpedoman pada
ajaran-ajaran agama Islam berupa al-Qur’an dan Hadis. Keberanian Abu Bakar
mengambil kebijakan-kebijakan tidak populer menjadikan ia sebagai khalifah yang
tangguh dan berwibawa. Perlawanan dan pertentang dalam pengankatan Abu Bakar sebagai
khalifah, menjadikan khalifah bertindak preventif dalam memilih khalifah ke dua. Sebelum Abu Bakar wafat, Umar ibn Khattab terpilih secara aklamasi sebagai
khalifah Islam ke dua.
Persoalan yang terjadi pada masa khalifah Umar ibn
Khatthab cenderung mengarah pada persoalan politik luar, pada masa tersebut,
umat Islam melakukan ekspansi perluasan daerah. salah satu contoh dengan
diutusnya Amr ibn Ash untuk memimpin pembukaan kota Mesir. Sementara dalam
tubuh umat Islam sendiri cenderung setabil, hal itu didukung oleh keberanian
dan kewibawaan yang dimiliki oleh Umar ibn Khathab. Demikian kemudian khalifah
yang mengganikan Rasul dalam menjalankan pemerintahan berpedoman kepada sistim
politik yang berdasarkan Alquran dan Hadist Rasul. Masa
perpolitikan umat Islam dalam ranah khilafah berakhir pada masa khalifah Ali
ibn Thalib. Masa khilafah merupakan pengalaman perpolitikan umat Islam yang
mampu mengenal perbedaan terkecil antara gagasan dan realita.
Masa kepemimpinan Mu’awiyah merupakan starting point perubahan sistem
perpolitikan umat Islam dari sistem khilafah menuju sistem daulah. Dalam sejarah tercatat bahwa Mu’awiyah dengan kreasi
politiknya mampu menanggulangi suasana ricuh dalam
tubuh umat Islam. Keberanian Mu’awiyah merubah sistem perpolitikan khilafah
dengan sistem daulah telah menyatukan kembali umat Islam yang bertikai sehingga
terkenal dengan masa ‘âmul
jamâ’ah (tahun rekonsiliasi). Mu’awiyah merubah pola perpolitikan
umat Islam dengan membangun infra struktural pemerintah seperti kantor-kantor. Sosio perpolitikan umat Islam di masa dinasti Umawiyah
dihiyasi oleh berbagai pertempuran ideologi antara ahlul hadis, theolog,
filosof dan sebagainya. Para tokoh berusaha untuk memperoleh dukungan dari para
penguasa sehingga ideologi yang diajarkan bisa dengan muda diterima oleh
masyarakat. Pada masa dinasti Umawiyah, perkonomian umat Islam maju dengan
pesat terbukti dengan adanya mata uang khusus yang disahkan oleh dinasti
Umawiyah sebagai alat transaksi jual beli. Pergantian pimpinan pada masa ini
berdasarkan pada garis keturunan, sehingga jauh berbeda bila dibandingkan
dengan masa khilafah. Dinasti ini bertahan dari tahun 661-750 M. Setelah dinasti Umawiyah runtuh, dinasti Abbasiah
muncul dengan pola dan sistem politik yang sama.
C. Politik Dan Konsep Negara Hukum
Menurut Islam
Menurut teori Islam,
dalam mekanisme operasional pemerintahan negara seyogianya mengacu pada
prinsip-prinsip syari’ah. Islam sebagai landasan etika dan moral direalisir
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Endang Saifuddin
Anshari (1986:167) mengatakan, “Negara adalah organisasi (organ, badan
atau alat) bangsa untuk mencapai tujuannya.” Oleh karena itu, bagi setiap
Muslim negara adalah alat untuk merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah
dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai khalifah Allah, untuk mencapai
keridhaan Allah, kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi
sesama manusia dan alam lingkungannya.
Secara konseptual di kalangan ilmuwan dan pemikir politik Islam era klasik,
menurut Mumtaz Ahmad dalam bukunya State, Politics, and
Islam, menekankan tiga ciri penting sebuah negara dalam perspektif Islam,
yakni adanya masyarakat Muslim (ummah), hukum Islam (syari’ah),
dan kepemimpinan masyarakat Muslim (khilafah).
Prinsip-prinsip negara dalam Islam tersebut
ada yang berupa prinsip-prinsip dasar yang mengacu pada teks-teks
syari’ah yang jelas dan tegas. Selain itu, ada prinsip-prinsip tambahan yang
merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam fikih. Prinsip-prinsip dasar
politik Islam adalah :
pertama, kedaulatan, yakni kekuasaan itu merupakan
amanah. Kedaulatan yang mutlak dan legal adalah milik Allah. Abu
al-A’la al-Maududi menyebutnya dengan “asas pertama dalam teori politik Islam.”
Al-Maududi dalam bukunya It’s Meaning and Message (1976:
147-148) menegaskan,”Kepercayaan terhadap keesaan (tauhid) dan kedaulatan Allah
adalah landasan dari sistem sosial dan moral yang dibawa oleh Rasul
Allah. Kepercayaan itulah yang merupakan satu-satunya titik awal dari filsafat
politik Islam.” Kedaulatan ini terletak di dalam kehendak-Nya seperti
yang dapat dipahami dari syari’ah. Syari’ah sebagai sumber dan kedaulatan yang
aktual dan konstitusi ideal, tidak boleh dilanggar, sedang masyarakat Muslim, yang diwakili oleh konsensus
rakyat (ijma’ al-ummah), memiliki kedaulatan dan hak untuk mengatur diri
sendiri.
Kedua, syura dan ijma’.
Mengambil keputusan dalam semua urusan kemasyarakatan dilakukan melalui
konsensus dan konsultasi dengan semua pihak. Kepemimpinan negara dan
pemerintahan harus ditegakkan berdasarkan persetujuan rakyat melalui
pemilihan secara adil, jujur, dan amanah. Pemerintahan atau sebuah otoritas (sulthan) yang
ditegakkan dengan cara-cara non-syari’ah tidak dapat ditolerir dan tidak dapat
memaksa kepatuhan rakyat.
Ketiga, semua warga negara dijamin hak-hak
pokok tertentu. Menurut Subhi Mahmassani dalam bukunya Arkan
Huquq al-Insan,beberapa hak warga negara yang perlu dilindungi adalah:
jaminan terhadap keamanan pribadi, harga diri dan harta benda,
kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan
pelayanan hukum secara adil tanpa diskriminasi, hak untuk mendapatkan
pendidikan yang layak, pelayanan medis dan kesehatan, serta keamanan untuk
melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi.
Keempat, hak-hak negara. Semua warga negara, meskipun
yang oposan atau yang bertentangan pendapat dengan pemerintah sekalipun, mesti
tunduk kepada otoritas negara yaitu kepada hukum-hukum dan peraturan
negara.
Kelima, hak-hak khusus dan batasan-batasan bagi warga
negara yang non-Muslim—memiliki hak-hak sipil yang sama. Karena negara ketika
itu adalah negara ideologis, maka tokoh-tokoh pengambilan keputusan yang
memiliki posisi kepemimpinan dan otoritas (ulu al-amr), mereka harus
sanggup menjunjung tinggi syari’ah. Dalam sejarah politik Islam,
prinsip dan kerangka kerja konstitusional pemerintahan
seperti ini, terungkap dalam Konstitusi Madinah atau “Piagam Madinah” pada era
kepemimpinan Rasulullah di Madinah, yang mengayomi masyarakat yang plural.
Keenam, ikhtilaf dan konsensus yang
menentukan. Perbedaan-perbedaan pendapat diselesaikan berdasarkan keputusan
dari suara mayoritas yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat. Prinsip
mengambil keputusan menurut suara mayoritas ini sangat penting untuk mencapai
tujuan bersama.
Selain
prinsip-prinsip dasar negara yang konstitusinya berdasar syari’ah,
ada juga prinsip-prinsip tambahan (subsider) yang merupakan kesimpulan
dan termasuk ke dalam bidang fikih siyasah (hukum
ketatanegaraan dalam Islam). Prinsip-prinsip tambahan
tersebut adalah mengenai pembagian fungsi-fungsi pemerintahan yaitu
hubungan antara Badan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dalam hubungan
ketiga badan (lembaga negara) tersebut prinsip-prinsip berkonsultasi (syura)
mesti dilaksanakan di dalam riset, perencanaan, menciptakan undang-undang dan
menjaga nilai-nilai syari’ah dengan memperhatikan otoritas (kewenangan) yang
dimiliki masing-masing lembaga tersebut.
D. Perkembangan Politik Hukum Islam Di Indonesia
Fikrah
umat Islam dalam bidang hukum dengan kewajiban bertahkim kepada
syariat Islam, secara sosiologis dan kultural tidak pernah mati dan selalu
hadir dalam kehidupan umat dalam system politik manapun, baik masa kolonialisme
Belanda, Jepang, maupun masa kemerdekaan dan pembangunan dewasa ini. Berkat
kerja sama antar semua umat Islam dan kejelian pemerintah membaca aspirasi umat
Islam dalam rangka pembangunan hukum nasional, maka hukum Islam yang melekat
dan hidup pada masyarakat dilembagakan dalam sistem hukum nasional, khususnya
yang berkaitan dengan kehidupan keluarga muslim. Hukum yang hidup kemudian
menjadi hukum positif. Eksistensi hukum Islam diakui oleh negara.
Berlakunya
hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan politik
hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan di balik semua itu, berakar
pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan
keputusan politik. Namun demikian, hukum Islam telah menga1ami perkembangan
secara berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik maupun
suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu.
Transformasi hukum Islam ke dalam supremasi hukum
nasional, tak terlepas dari partisipasi semua
pihak dan lembaga terkait, seperti halnya hubungan hukum Islam dengan badan
kekuasaan negara yang mengacu kepada kebijakan politik hukum yang ditetapkan (adatrechts
politiek). Politik hukum tersebut merupakan produk interaksi kalangan elite
politik yang berbasis kepada berbagai kelompok sosial budaya. Ketika elite
politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik itu, maka
peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin besar. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945, sebelumnya telah terjadi silang pendapat perihal
ideologi yang hendak dianut oleh Negara Indonesia. Gagasan Prof. Dr. Soepomo
tentang falsafah negara integralistik dalam sidang BPUPKI tanggal 13 Mei 1945
telah membuka wacana pluralisme masyarakat Indonesia untuk memilih salah satu
di antara tiga faham yang ia ajukan, yaitu; (1) Faham Individualisme: 2) Faham
Kolektifisme; dan (3) Faham Integralistik. Dalam sejarah Indonesia, para
politisi menghendaki faham integralistik sebagai ideologi negara dan Pancasila
dan UUD 1945 kemudian disepakati sebagai landasan idiil dan landasan struktural
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasiya secara hukum setiap bentuk
perundang-undangan diharuskan lebih inklusif dan harus mengakomodasikan
kepentingan umum masyarakat Indonesia. Inilah yang pada gilirannya akan
melahirkan konflik ideologis antara Islam dan negara.
Masa Orde Baru seperti termaktub dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) yaitu Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) sejak 1973, 1978, 1983, 1988 dan 1993. Kurun waktu 1973-1988
pengembangan hukum nasional diarahkan bagi kodifikasi dan unifikasi hukum
sesuai kepentingan masyarakat. Bentuk hukum tertulis tertentu dikodifikasikan
dan diunifikasikan, terutama hukum yang bersifat ‚netral? yang berfungsi bagi
rekayasa sosial. Demikian halnya bagi orang Islam, unifikasi hukum Islam
memperoleh pengakuan dalam sistem hukum nasional.
Transformasi hukum Islam dalam bentuk
perundang-undangan (Takhrij al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun) merupakan
produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat
agama dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite)
yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh, diundangkannya UU
No.1/1974 tentang Perkawinan, peranan elite Islam cukup dominan dalam melakukan
pendekatan dengan kalangan elite di tingkat legislatif, sehingga RUU Perkawinan
No.1/1974 dapat dikodifikasikan. Adapun prosedur pengambilan keputusan politik
di tingkat legislatif dan eksekutif dalam hal legislasi hukum Islam (legal
drafting) hendaknva mengacu kepada politik hukum yang dianut
oleh badan kekuasaan negara secara kolektif. Namun masa Orde Baru yang menerapkan kebijakan
modernisasi, di mana stigma perkembangan pola pikir dan cara pandang bangsa
Indonesia serta proses transformasi kultural dan perubahan sosial lebih banyak
mengadopsi apa yang pernah terjadi di negara-negara Barat, telah menimbulkandilema bagi
elite Islam, karena Kiblat
pembangunan di Indonesia yang sebelumnya mengarah ke Eropa Timur berbalik arah
ke Eropa Barat dan Amenka. Banyak didapatkan kalangan cendekiawan dan kalangan
intelektual mulai akrab dengan pemikiran-pemikiran Barat. Kalangan Islam memandang modernisasi ibarat dilema karena dihadapkan kepada dua pilihan, yakni
apabila mendukung modernisasi ala Orde Baru berarti sama saja mendukung Barat,
sedangkan pada sisi lain, apabila menolak berarti umat Islam akan kehilangan
kesempatan untuk berperan aktif dalam program pembangunan nasional. Sikap
pro-kontra di kalangan mayoritas umat Islam dalam menanggapi modernisasi
melahirkan tiga pola berikut: Pertama, pola apologi, yakni suatu bentuk sikap
penolakan kalangan Islam terhadap segala nilai-nilai yang berakar pada wacana
modernisasi. Bahkan pola pertama ini berasumsi bahwa modernisasi identik dengan
westernisasi dan sekularisasi; Kedua, pola adaptif, yakni suatu bentuk sikap
menerima sebagian nilai-nilai modernisasi yang tidak bertentangan dengan ajaran
Islam; Ketiga, pola kreatif, yakni suatu bentuk sikap dialogis yang lebih
mengutamakan pendekatan intelektual dalam menanggapi modernisasi. Dan ketiga
pola tersebut, tampaknya pola ketiga menjadi lebih dominan karena pendekatan
intelektual yang dikembangkan kalangan modernis dipandang lebih representatif untuk membangun tatanan Islam modern di Indonesia. Hal ini sebagai
antitesa dari kalangan Islam konservatif yang lebih mengarah kepada upaya ideologisasi
dan depolitisasi Islam secara formal yang mengakibatkan lahirnnya ketegangan
dengan rezim Orde Baru.
Pola pertautan politik yang serba provokatif dianggap
bukan jalan terbaik bagi islamisasi di Indonesia, mengingat penduduk Indonesia
tidak seluruhnya umat Islam yang dapat disatukan dalam bingkai sistem politik
keormasan. Pada gilirannya, lahirlah gagasan Islam kultural sebagai jalan
tengah bagi umat Islam untuk tetap memainkan perannya daam pentas politik
nasional Paling tidak, kebenaran akan pendekatan ini mulai membuahkan hasil
berupa terbukanya jalan bagi umat Islam menuju islamisasi politik Orde Baru di
penghujung tahun 1970-an.
Kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan
Islam dalam posisi marjinal di pentas politik nasional pada gilirannya telah
melahirkan berbagai ketegangan antara Islam dan negara. Sejarah telah mencatat
hahwa dinamika hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru mengalami
pergeseran yang bersifat antagonistik, resiprokal kritis sampai akomodatif.
Hubungan antagonistik (1966-1981) mencerminkan pola hubungan yang hegemonik
antara Islam dengan pemerintah Orde Baru. Keadaan negara yang kuat memainkan
pengaruh ideologi politik sampai ke tingkat masyarakat bawah telah berlawanan
dengan sikap reaktif kalangan Islam sehingga melahirkan konflik ideologi dan
sekaligus menempatkan Islam sebagai oposisi.
Kemudian pada tahap hubungan resiprokal kritis (1982-
1985) kaum santri berupaya merefleksikan kembali cara pandang mereka dan
merubah dirinya untuk menampilkan sisi intelektualitas dalam percaturan politik
Indonesia. Pada tahap ini pilihan-pilihan rasional-pragmatis telah melahirkan
saling pengertian akan kepentingan Islam dan pemerintahan Orde Baru. Dalam
kurun waktu 1982-1985 sebagian kalangan Islam mulai menerima asas tunggal dalam
landasan ideologi negara serta ormas dan orpol. Sedangkan hubungan akomodatif
(1985-2000) hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di mana umat Islam
telah masuk sebagai bagian dan sistem politik elit dan birokrasi, Pola hubungan
akomodatif ini sangat terasa berupa tersalurkannya aspirasi umat Islam untuk
membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang berakar pada
nilai-nilai luhur agama (Islam) serta budaya bangsa yang dibingkai dalam
falsafah integralistik Pancasila dan UUD 1945. Tersendat-sendatnya aspirasi umat Islam di dalam
mendapatkan hak-hak perundang-undangan dan hukum tampak ketika
dilegislasikannya UU No.1/1974 tentang Perkawinan yang kemudian disusul dengan
PP No.9/1975. Selanjutnya ditetapkan pula ketentuan tentang Wakaf dalam PP
No.28/1977. Tidak berhenti sampai di situ, umat Islam di tingkat legislatif
kembali mempersoalkan faham/aliran kepercayaan dalam UUD 1945 sebagai agama
resmi yang diakui negara. Dan yang paling krusial adalah kehendak umat Islam
untuk dilegislasikannya Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUUPA) bagi
penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia.
Pada pola hubungan resiprokal kritis, umat Islam
menyadari perlunya strategi untuk menempuh jalur struktural-birokrat pada
sistem kenegaraan. Pada tahapan ini, kalangan cendekiawan dan politisi Islam
harus berani bersentuhan langsung dengan pemerintahan Orde Baru. Melalui
pendekatan strukturai-fungsional, umat Islam relatif mengalami kemajuan pesat
berupa masuknya kalangan Islam dalam segala sistem pemerintahan sipil mulai
dari pusat hingga daerah, dan sekaligus memperkokoh kekuasaan Orde Baru dalam
bingkai akumulasi sipil Islam dan militer. Pada pola
akomodatif, sebagai antitesa dan pola hubungan sebelumnya Islam hampir
menguasai seluruh sendi-sendi pemerintahan dan negara. Tercatat realitas sosial
politik umat Islam demikian penting memainkan peranannya di pentas nasional.
Kehadiran ICMI, 8 Desember 1990, diyakini sebagai tonggak baru menguatnya
islamisasi politik di Indonesia, dan semakin tampak ketika diakomodirnya
kepentingan syari’at Islam melalui UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama,
sekaligus menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara yang
diatur dalam UU No.14/1970 tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman, disusul
dengan UU No.10/1998 tentang Perbankan (pengganti UU No.7/1992), UU No.38/
1999, tentang Zakat, Inpres No.1/1991.tentang Penyebarluasan KHI. Artikulasi dan partisipasi politik kalangan umat
Islam demikian tampak mulai dari pendekatan konflik, pendekatan resiprokal
kritis sampai pendekatan akomodatif.
Kodifikasi dan unifikasi hukum Islam serta penyusunan
rancangan perundang-undangan yang baru diarahkan untuk terjaminnya kepastian
hukum (law enforcement) di masyarakat. Terhitung sejak tahun 1970-an
sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan proses transformasi hukum Islam
telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik di Indonesia. Tiga fase
hubungan antara Islam dan negara pada masa Orde Baru yakni fase antagonistik
yang bernuansa konflik, fase resiprokal kritis yang bernuansa strukturalisasi
Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa harmonisasi Islam dan negara, telah
membuka kemungkinan pembentukan peraturan perundangan yang bernuansa hukum
Islam. Sampai saat ini, kedudukan hukum Islam dalam sistem
hukum di Indonesia semakin memperoleh pengakuan yuridis. Pengakuan berlakunya
hukum Islam dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berimplikasi
kepada adanya pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum. Salah satunya
adalah diundangkannya Undang Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan.
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya
hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar
pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam rnerupakan
pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan
mi mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara
Pancasila); Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam
Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran
Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan
Yuridis yang tertuang dalam Pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi
keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal. Implementasi dan
tiga alasan di atas, sebagai contoh adalah ditetapkannya UUPA No.7/1989 yang
secara yuridis terkait dengan peraturan dan perundang-undangan lainnya, seperti
UU No.2/1946 Jo, UU No.32/1954, UU Darurat No.1/1951, UU Pokok Agraria
No.5/1960, UU No.14/1970, UU No.1/1974, UU No.14/1985, Perpu Nol/SD 1946 dan
No.5/SD 1946, PP. No.10/1947 Jo. PP. No.19/1947, PP. No.9/1975, PP. No.28/1977,
PP. No.10/1983 Jo, PP. No.45/1990 dan PP. No. 33/1994. Penataan Peradilan Agama
terkait pula dengan UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum, UU No.5/1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, dan UU No.7/1989 tantang Dradi1an Agama.
Dari sekian banyak produk
perundang-undangan yang memuat materi hukum Islam, peristiwa paling fenomenal
adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama. Betapa tidak,
Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa penjajahan (Mahkamah
Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde Baru, baru
kurun waktu akhir 1980-an UUPA No.7/1980 dapat disahkan sehagai undang-undang. Keberadaan UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan
Inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan
yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata.
Sejalan dengan perubahan iklim
politik dan demokratisasi di awal :ahun 1980-an sampai sekarang, tampak isyarat
positif bagi kemajuan pengernbangan hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan
masyarakat. Pendekatan struktural dan harmoni dalam proses islamisasi pranata
sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar
bagi upaya transformasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Tinggal
bagaimana posisi politik umat Islam tidak redup dan kehilangan arah, agar ia tetap eksis dan memainkan peran lebih besar dalam
membesarkan dan kemajukan Indonesia baru yang adil dan sejahtera.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
I.
hukum adalah produk politik, sehingga
ketika membahas politik hukum cenderung mendiskripsikan pengaruh politik
terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum.
II.
Politik hukum Islam dalam perspektif sejarah hukum
mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara bertahap dalam 7 (tujuh) periode
masa keemasan pemerintahan Islam. Diawali dengan
pembentukan pemerintahan Islam oleh Raullulah di Medinah yang bersumber dari Al-Quran
dan Sunnah Rasullulah, yang berhasil menyatukan masyarakat Madinah yang heterogen,
terdiri dari masyarakat Yahudi, Kristen dan Islam dan mencapai kegemilangan pada periode ke
empat, yakni pada Pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H, karena
fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah muncul berbagai
mazhab, khususnya mazhab yang empat; Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab
Syafi'i dan Mazhab Hanbali, yang kemudian dikodifikasikan
oleh pemerintahan Turki Osmani, yang menjadi
sumber hukum Islam bagi umat Islam seluruh dunia sampai sekarang.
III.
Dari sudut pandang Islam, politik adalah pengaturan
urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri
berdasarkan hukum-hukum Islam oleh pemimpin pemerintahan negara (khalifah). Bagi setiap Muslim negara adalah alat untuk
merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya
sebagai khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan Allah, kesejahteraan duniawi
dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya. Oleh karena itu dalam
mekanisme operasional pemerintahan negara seyogianya mengacu pada
prinsip-prinsip syari’ah. Islam sebagai landasan etika dan moral direalisir
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
IV.
Di Indonesia dengan
mayoritas masyarakat beragama Islam, ajaran Islam telah berakar pada
kekuatan sosial budaya, namun perkembangan politik hukum Islam telah
mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh
kekuasaan negara, karena itu diperlukan
pendekatan strategis-politis secara
berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur
politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu, sehingga kemudian mendapat respon
yang baik dari pemerintah dalam transpormasi hukum Islam sebagai hukum positif
Indonesia yang ditandai dengan diundangkannya
Undang Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan.
V.
Keberhasilan politik hukum Islam yang paling fenomenal
dalam mengimpikasikan hukum Islam kedalam hukum Nasional adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1/1991
tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat
Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata.
VI.
Sampai saat ini, kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia
semakin memperoleh pengakuan yuridis. Pengakuan berlakunya hukum Islam dalam
bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berimplikasi kepada adanya
pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
VII.
Bahwa hukum
Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu
masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa dukungan politik sulit digali dan
diterapkan, sebaliknya politik
yang mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat.
Semakin baik hubungan Islam dan politik semakin besar peluang hukum Islam
diaktualisasikan, dan semakin renggang hubungan Islam dan politik, semakin
kecil peluang hukum Islam diterapkan.
A.
Saran – Saran
I.
Politik hukum Islam dalam perspektif sejarah hukum penting dipelajari oleh
umat Islam untuk mempelajari hukum Islam.
II.
Makalah ini jauh dari sempurna dan mungkin terdapat kekeliruan, untuk itu
penulis mohon kritikan dalam bentuk penyempurnaan.
DAFTAR PERPUSTAKAAN
1.
Soehino, Politik Hukum, (BPFE Yogyakarta.
2010).
2.
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Asas Umum
Hukum Pidana, (Liberty, Yogyakarta, 1988).
3.
Sadjipto Rahardjo, Hukum Dan Perubahan Sosial:
Suatu Tinjauan Teoritis Dan Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia, (Alumni,
Bandung, 19
4.
Jhon Rawls, A Theory of Justice
(Teori Keadilan), Dasar Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahterahan
Sosial Dalam Negara, Pustaka Pelajar, 2006.
5. H. L A. Hart, The Concept of Law (Konsep Hukum),
Nusamedia.
6.
Achmad
Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta.
7.
A.Gunawan
Satiardja, 1990, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia, Kanisius-BPK Gunung Mulia, Yogya-Jakarta.
8.
Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1993, Perihal Kaedah Hukum, PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung.
9.
Rusli
Effendy dkk, Teori Hukum, Hasanuddin University Press, Ujungpandang. 1991.
10.
Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
11.
Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, cetakan kedua , Badan Penerbit
Iblam Jakarta, 2006
12.
Darmodiharjo, dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
cetakan keenam,Mei 2006.
- Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta cetakan keenam
belas, 2003.
- Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih
bahasa Arief sidharta, Citra Aditya bakti, cetakan kedua, 1999 .
15.
Bertens.Dr.K. Sejarah Filsafat Yunani,
Yogyakarta, 1975.
16.
Bochenski, J.M.Contemporary European
Philosophy, translated bay D. Nichol and K. Aschenbrenner, London and Berkeley,
1956.
17.
Collins,J.A .History of Modern Eurapean
Philosophy, Milwaukee, 1954.
18.
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan
Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Ringkasan Sejarah Hukum dari Buku Karya John Gillesen dan First Gorle,
http://www.scribd.com/doc/32466723/SEJARAH-HUKUM
Tri Wong Suloyo, Pengertian Politik Hukum, http://www.scribd.com/doc/91782244/Pengertian-Politik-Hukum#
Ibn
Khaldun, Filsafat Islam Tentang Sejarah,(terj.)
Charles Issawi, dari judul asli an Arab
Philosophy of History, (Jakarta: Tintamas, 1976), cet.II, hlm. 180.
Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, jilid II, (Jakarta: UI Press, 1979), cet. I, hlm. 92.
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2010), cet I,
hlm. 318.
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku
Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 38 1-382.